Sabtu, 31 Maret 2012

Trust and Faith (Part 3)

Part 3
No flames..!


Mereka keluar lalu celingak-celinguk ke sana kemari. “Btw, Ballroom di mana, ya?” Tanya Vinsensius. Seungrin mengangguk, “Iya, di mana, ya?”
Theo lalu menggelengkan kepalnya, “Ck..ck..ck.. Emang, ya, anak jaman sekarang, tuh, pada buta. Nggak baca apa tulisan segede gentong di atas itu?” Tania mengerutkan dahinya, “Tulisan apaan?” Theo menghela nafasnya, “Beruntung banget lu perempuan. Kalo enggak, udah gue jitak dari tadi. Itu di atas..!” Semua anak selain Theo mendongakkan kepalanya lalu secara bersamaan mereka berkata dengan santainya, “Oooohhh…..” Theo menggeram, “Uuuurgghhh…” Vinsensius langsung ambil alih. Ia berpura-pura merapikan jas Theo dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Nggak. Lu gak boleh marah-marah. Ntar nggak cakep lagi, lho. Tuh, jasnya udah nggak rapih lagi.”
Mereka semua langsung tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Vinsensius terhadap Theo. Sementara Theo hanya bergumam tak jelas.
Michael dan Cornelius langsung membuka pintu Ballroom tersebut. “Ladies first,” sengir Michael terhadap para perempuan itu. Jeanette, Kesha, Seungrin, dan Tania masuk. Cornelius lalu memandang Yolen, “Lho, Yolen kenapa nggak masuk?” Yolen langsung menjawab, “Lho, siapa? Gue? Gue, kan, laki-laki.” Vinsensius menyambar, “Ape kate lu,dah…” Ia pun langsung masuk.
Ballroom tersebut benar-benar indah dan megah. Lampu-lampu Kristal bening digantung di atas, panggung kecil di depan, dan meja-meja bundar di segala tempat. Di sisi kanan terdapat meja persegi panjang yang di atasnya terdapat berbagai macam makanan pembuka dan penutup. Mulai dari makanan barat sampai makanan nusantara pun disajikan. Murid-murid sudah masuk ke dalam Ballroom dan duduk bersama di salah satu meja.
Mereka bersembilan langsung mengambil tempat duduk di sebelah meja dimana Charlene, Shane, Trixie, Lacie, Seraphine, Ruth, Christina, Claudia, dan Tara. “Hai,” Ujar mereka bersamaan. “Hai juga,” Balas kesembilan anak itu. Mereka langsung duduk karena Ibu Astuti sudah membawa mikrofon ke panggung dan akan mulai berbicara.
“Selamat malam Bapak Ibu guru dan Siswa siswi kelas 7 SMP Santa Ursula BSD..!” Seru Ibu Astuti semangat. “Selamat malam, Bu..!” Balas murid serta guru-guru dengan semangat.
Ibu Astuti tersenyum sebentar, “Malam hari ini kita harus mengucapkan terimma kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah mengumpulkan kita semua di sini.” Dan terus berlanjut pidato dari Ibu Astuti. Namun, kali ini ada yang berbeda dari wajah para murid. Mereka tidak terlihat mengantuk atau bosan. Mereka menikmati. Mungkin karena mereka semangat akan kegiatan ini.
2 menit kurang Ibu Astuti menyampaikan secara singkat, padat, dan jelas akan kegiatan yang akan dilakukan di Yogyakarta. Permasalahannya, penyakit lama kelas 7C mulai kambuh kembali. Mereka sibuk berbicara satu sama lain. Kemungkinan besar membicarakan tentang ‘liburan’ mereka di Yogya ini.
Ibu Astuti sudah menegur mereka 3 kali dan para murid kelas 7C sama sekali tidak mengubrisnya. Mereka diam sejenak lalu mulai berbicara satu sama lain lagi. “Kelas 7C ini sudah ke empat kalinya saya peringatkan kalian, bukan? Karena itu kalian dikurung di Ballroom sampai jam 3 pagi..!” Kesabaran Ibu Astuti sudah mulai habis. Katrina melirik Pak Aris yang sekarang wajahnya sudah tertekuk oleh hukuman Ibu Astuti pada murid-murid asuhannya.
Selesai sudah sambutan dari Ibu Astuti dan sekarang waktunya makan malam.! Semua murid langsung berbaris tak sabar di meja yang sudah disediakan berbagai macam makanan pembuka dan penutup. Para guru kadang hanya menggelengkan kepala melihat tingkah murid didik mereka yang rakus ini. Dan ketika para guru yang mau mengambil makanan itu, hanya terdapat sisa-sisa sedikit untuk dimakan. Sabar, ya, Pak.. Sabar, ya, Bu.. Tabah, tabah…
“Waaa…. Kambing lapar…!” Seru Lius ketika melihat makanan yang bertumpuk di depannya sudah habis. “Kambing!” pekik Jeanette. Lius menatap Jeanette penuh tanya, “Hah?” Gadis itu menepuk dahinya pasrah. Ica, yang duduk d sebelah Jeanette, langsung menepuk-nepuk bahu Jeanette sambil berkata, “Sabar, ya? Sabar…” Jeanette hanya mengangguk pasrah.
Lius menautkan kedua alisnya. Ia bertambah bingung, “Apa, sih?” Ica berseru, “Woy..! Lu udah makan banyak masa gak puas-puas?!” Terdapat keheningan sejenak, “Itu doang?” “Kambiiiinnggg…!!” Seru teman-temannya yang berada satu meja dengannya. Lius menyengir tanpa rasa bersalah.
Setelah makan, mereka kembali ke ruangan masing-masing. Namun, tidak dengan kelas 7C, mereka menetap di Ballroom. Sebelum mereka dikurung dan dibebaskan untuk memakai peralatan apapun di ruangan itu Pak Aris berkata, “Jangan macam-macam, ya? Saya sangat kecewa.”
Dan Pak Aris keluar lalu mengunci ruangan itu. Setelah yakin tak ada yang mendengarkan murid-murid berseru senang, “YEAH…!!!” Dan mereka tertawa bahagia. “Kita bebas..!! We’re Free…!!” Seru Michael sambil berlarian ke sana kemari. “Gue bangga jadi 7Cemangka..!” Seru Ica senang. Sementara yang lain sudah menggila, Katrina, George, Timothy, Marci, Kiiro, dan Eduard duduk termangu meratapi nasib mereka terkurung.
“Lagian mereka ribut..!” Seru Katrina. Marci mengangguk, “Iya, aku juga udah ngantuk soalnya.” “Udahlah, mereka cuman terlalu semangat, kok,” ucap Kiiro menenangkan. Eduard mengangguk, “Ya udah. Mau buat apa lagi?” Mereka berempat hanya mengangkat bahu tak peduli.
Michael lalu berjalan menuju piano elektronik yang terletak di sisi kanan panggung. Icaa yang melihat itu langsung berteriak nyaring, “Mainin pianonya, Mike!” Michael menatap teman-temannya sebentar, “Serius?” Beberapa temannya langsung menyahut, “Iya! Ayo, Mike..!” Pemuda itu mengangkat bahunya lalu mulai memainkan lagu “My Heart Will Go On” dari Celline Dion.
Sontak, semua murid langsung terhanyut dalam permainan indah Michael CFT. Alunan music yang indah, lembut. Legato. Begitulah para pianis menyebutnya. “My  heart will go on and on,” Terdengar lirik terakhir yang dinyanyikan murid-murid 7C dengan merdu.
Hening sejenak setelah lagu dinyanyikan. Dan tiba-tiba, “Woooohh….!!!” Murid-murid bersorak-sorai gembira. Berloncatan ke sana kemari, berputar-putar, dan berteriak-teriak.
Lalu semua aktifitas tersebut terhentikan oleh permainan piano Michael yang sedikit.. mencengkam. Seisi ruangan diam, tak ada yang berbiacara. Semua mata tertuju pada Michael yang kepalanya tertunduk pada piano yang sedang dimainkannya. Semua murid tau lagu ini. “Michael ngapain main Gloomy Sunday?” Tanya Ica tiba-tiba.
Beberapa murid berpandangan satu sama lain. “Kayaknya ada yang nggak beres, deh…” Ucap Kesha sambil mendekati Michael. “Kes, jangan!” Sergah Charlene. Namun Kesha tetap mengikuti naluri dan menghiraukan bantahan Charlene. Ica dan Jeanette mengikuti Kesha dari belakang. “Gila, permainannya… Ngeri gue,” ucap Vinsensius tiba-tiba. Bahkan, Timoteus dan teman-temannya pun ingin menyaksikan apa yang terjadi.
Tep.. Tep.. Hanya terdengar langkah kaki Kesha, Ica, dan Jeanette. “Mike?” Panggil Ica. “Mike?” Sekali lagi Ica memanggil sahabatnya itu, “Michael?” Kesha menyuruh Ica untuk diam sebentar. Ia mengerutkan keningnya, heran dan takut. Perlahan, ia menaruh tangan kanannya di pundak Michael, “Mike?”
Sekitar sedetik, tak ada yang terjadi. Namun setelah itu, Michael menatap Kesha mengerikan. Tak ada bola mata. Hilang. “Kyaaaaa…..!!!!!!” Seru Kesha, Jeanette, dan Ica secara bersamaan. Mereka bertiga turun dari panggung itu dengan segera. “Michael! Elu mau ngebunuh kita apa?!” Protes Jeanette tak terima. Pemuda itu tak menjawab. Ia hanya tersenyum mengerikan.
“Mike! Elu kenapa, sih?!” Tanya Lius sedikit panik. Alih-alih Michael menjawab, Natasha mengambil alih, “Paling dia cuma main-main.” Yolen mendorong Natasha, “Cuma lu bilang?! Enam tahun gue satu sekolah ama dia, enam tahun juga gue nggak pernah ngeliat dia kayak gini..!” Charlene langsung menarik lengan Yolen, “Udah… Jangan emosi dulu.”
“Michael, lu sebenernya kenapa sih?!” Seru Lacie. Michael menatap Lacie marah. Tak ada jawaban, tetap hening. “Gue tau dari awal emang nggak ada yang bener dari hotel ini,” ucap Tara takut. “Kenapa harus hotel ini bener-bener untuk kita gitu, lho? Nggak masuk akal..!” Seru Tania. Beberapa anak mengangguk setuju. “Stop, stop. Kita udah di sini dan permasalahan ini nggak bisa kita selesain dengan emosi. Tahan dulu,” ucap Vani. Gadis berambut hitam kecokelatan itu lalu menatap Wicak, “Menurut lu ini kenapa?” Wicak menatap Vani dalam, “Kerasukan.”
Beberapa murid menahan nafas mereka, kaget. “Dari mana lu bisa ngambil kesimpulan itu?” Tanya Shane sedikit sewot. Dengan cepat Wicak menjawab, “Perhatiin matanya, cara dia ngeliat elu. Kerasukan.” George menatap Wicak, “Lu bisa ngeluarin?” Wicak terlihat seperti berpikir sebentar, “Oh..! Gue bawa Rosario.” Natasha dan Jeanette terlihat memucat. Ica yang melihat hal itu segera bertanya, “Napa lu, Jean?” Jeanette menatap Ica, “E-eh? Nggak.. Nggak apa-apa..”
“Ruth, bisa bantuin gue nggak?” Tanya Wicak. Ruth terlihat sedikit terkejut, “E-eh? Tapi, gue nggak bawa Rosario.” Wicak mengangkat kedua bahunya, “Bantuin doain Rosario, gue bakal ngusir iblis itu.” Ruth mengangguk dan mengambil Rosario kepunyaan Wicak.

~RT @Queen_Violette
~Next part... Coming soon

Trust and Faith (Part 2)


Part 2
No flames..!


“Jangan berisik saya bilang! Sudah, balik ke tempat duduk masing-masing..!” Perintah Pak Aris pada murid-murid asuhannya. Dengan langkah gusar dan malas, mereka semua duduk ke tempat duduk masing-masing. Kelompok yang memisahkan diri dari Lacie dan kawan-kawan menatap mampus-lo pada kawanan itu atau sekadar menatap saja. Namun tak ada satu orang pun yang melihat Nathasha tersenyum mengejek.
Yah, memang ini sudah menjadi khas kelas 7C. Sekitar 15 menit mereka terjebak dalam kesunyian yang membosankan – walaupun masih ada yang berbicara pelan di sana sini – makanan kecil dibagikan. Pak Aris mengirimkan makanan dari depan dengan cara estafet. Mereka saling mengoper sebuah kue soes dan sebuah kue mangkuk. Selesai sudah makanan kecil dibagikan, beberapa ada yang langsung melahap kue tersebut. Contohnya saja Wicak yang memang dari tadi terlihat lesu dan wajahnya langsung cerah ketika dibagikann makanan kecil. Adiet, sang ketua kelas yang banyak makan, segera melahap 2 kue lezat tersebut dengan satu gigitan. Fuchu langsung membuka kue soes tersebut dan melahapnya.
“Ya, kalian boleh memakan kue tersebut. Jangan sampai ada yang tercecer. Ya, Michael?” Ujar Pak Aris saat menangkap Michael sedang asyik berbicara pada Ella. Michael dengan cepat mengubah posisi duduknya. “Ya, jangan sampai ada yang tercecer. Jaga kebersihan,” ujar Pak Aris sekali lagi. Beberapa anak hanya mengangguk karena sudah sibuk dengan kuenya masing-masing.
“Ih, Christina makannya, kok, kayak gitu, sih?” Tanya Claudia sedikit mendelik pada temannya yang suka melucu itu. “Wimana Awanya?” balas Christina dengan mulut penuh kue mangkuk. “Ya, elu telen dulu makanannya,” saran Ruth sambil tersenyum meskipun jijik juga. Christina mengunyah cepat lalu menelannya, “Gimana apanya, Clau?” “Makannya! Jorok banget..!” seru Claudia dengan suara medoknya yang khas. Christina terkekeh, “Maap, ya? Hehehe…” Claudia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Fuchu, makannya pelan-pelan,” ujar Lun-ah. “Hm?” Balas Fuchu. “Pelan-pelan makannya,” ulang Lun-ah sekali lagi. “Sori, Lun. Gue laper banget, sumpah.” Lun-ah hanya mengangguk. “Ntar tambah gendut, lho,” cerocos Haemin tenang. Fuchu dengan cepat menjawab, “Nancep, Min.” Haemin hanya menyengir tak bersalah.
“Pantat gue mati rasa, Te,” ujar Vinsensius tenang pada Theo. PLAK. Theo memukul pundak Vinsensius, “Gue lagi makan..! Jorok banget, sih, lu..!” Dengan malas dan tenang Vinsensius menjawab lagi, “Gue lagi, kan, yang salah?” “Waktu lu gak pas, Vin. Makanya semua salah lu. Ampe gue dapet nilai jelek aja salah lu..!” Vinsensius menatap Theo tak percaya, “Lho? Kok, gitu?” “Gimana gak elu yang salah kalo lu salah ngasih info ke gue. Wong disuruh belajar bab 4 lu ngasih tau bab 6. Gimana, sih?” protes Theo frontal. “Ya, maap,” ujar Vinsensius acuh tak acuh. “Nilai gue gimana?!” Seru Theo. “Gue udah minta maaf..!” balas Vinsensius tak kalah rusuh. Lalu dengan peringatan Wicak yang bijaksana, Putra Altar, panggilan Tuhan (kita juga, sih) mereka berdua bungkam mulut.
Tiba-tiba bis berhenti di  pom bensin. “Ayo, ada yang mau ke toilet?” Tanya Pak Aris. “Berhentinya cuman satu kali, lho..” Lalu sebagian murid langsung meninggalkan bis dan membawa uang Rp 1.000, 00 untuk diberi ke tip. “Lu gak ke toilet, Rin?” tanya Lacie pada Seungrin. Siswi keturunan Korea Selatan – sama seperti Haemin – itu menolehkan kepalanya ke Lacie dan tersenyum, “Ah, enggak. Gue gak buang air kecil sebanyak itu.” Lacie mengangguk lalu pergi ke toilet bersama Shane yang menggandengnya.
Karena banyak yang ingin pergi ke toilet, murid yang tidak buang air kecil harus menunggu selama 8 menit untuk mengumpulkan kembali teman-teman mereka yang sudah lega. “Puas?” Tanya Pak Aris bergurau. Murid-murid mengernyit. “Puas apanya?” Tanya Haemin. “Udah puas belum buang airnya?” Sengir Pak Aris. Kesha memutar bola matanya, “Pfft.. Gue kira apa..” Yolen mengangguk, “Tau, tuh. Ikut campur aja..” Kesha hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli.
Bis pun mulai bergerak lagi. Mereka sudah sampai di tol memasuki wilayah Yogyakarta. Karena tak ada kesenangan yang mau dilakukan lagi di dalam bis, murid-murid memutuskan untuk tidur. Night night.. Mereka semua sudah memasuki Tanah Mimpi dimana semua menjadi kenyataan. Wicak yang bermimpi menjadi orang paling bijak dan beriman. Haemin, Seungrin, dan Fuchu yang memimpikan pujaan hati mereka. Yolen yang memimpikan menjadi laki-laki itu banyak gunanya. Lius dan Michael yang memimpikan menjadi pemain basket internasional. Christina, Adiet, dan Adi yang memimpikan Sweet Land dimana semua makanan manis terdapat di sana. Lalu ada Katrina yang memimpikan bahwa ia merupakan anak penyihir. Kiiro dan Marci, anak keturunan Jepang –seperti Fuchu dan Lun-ah – yang memimpikan tentang anime dan manga yang sedang mendunia saat ini. Kesha yang memimpikan akan selalu berusaha menjadi orang yang perfeksionis dan mempunyai kekasih, yaitu Greyson Chance. Charlene yang memimpikan semua lelaki cakap di dunia bisa mempunyai hubungan khusus dengan dirinya. Lalu ada Ica yang memimpikan bahwa ia merupakan seorang bintang penyanyi terkenal dan diperebutkan oleh laki-laki. Jay juga bermimpi ia menjadi presiden terbaik dan terhebat di Indonesia karena dapat mengatasi semua masalah. Dan masih banyak lagi. Sangat mengasyikkan ketika kita tertidur dan kemudian semua menjadi kenyataan, namun –
“Anak-anak, bangun..!” Suara pria terdengar di mikrofon bis tersebut. Murid-murid kelas 7C masih saja menggeliat, menolak untuk bangun dari mimpi mereka yang tidak dapat diganggu. “Anak-anak, kta sudah sampai,” ujar suara itu sekali lagi. Beberapa murid yang tidak malas, seperti Jay, Wicak, Kiiro, Marci, Nathasha, Vani, Eduardus, dan lainnya mengerjapkan mata mereka. “Kita sudah sampai,” ujar suara yang ternyata dimiliki oleh wali kelas mereka sendiri. “Hey..!” Tegur Pak Aris tak sabar karena masih banyak yang bermimpi. Pak Aris lalu membesarkan volume mikrofon lalu berkata sebentar pada supir, kondektur, dan murid-murid yang sudah terbangun, “Tutup telinga kalian sebentar.” Eduard dan Vani saling berpandangan lalu mengangkat kedua bahunya tak tahu. Mereka segera menutup telinga mereka. “Anak-anak, bangun..!” Seru Pak Aris pada mikrofon yang telah dibesarkan volumenya.
Murid-murid terlonjak kaget. “Whoa..! Anjing gue dicuri!” Seru Michael terkejut. “Anting gue ilang..!” Pekik Shane tak jelas. “Ulet..!” Seru Kesha asal. “Gue mau jadi cowo..!” Yolen berseru dengan suara beratnya. Lalu mereka semua menghadap ke arah Yolen dengan tatapan maksud-lo?  Yolen dengan cepat menjawab, “Itu gak sengaja. Sori.” Michael langsung berbicara, “E-eh, gue juga ga sengaja tadi..” “Gue juga, maaf,” ujar Shane. Wajahnya memerah malu. “Umm, gue juga,” ujar Kesha. Pak Aris menggelengkan kepalanya, “Nah, kita sudah sampai. Ayo, segera periksa barang bawaan kalian dan jangan sampai ada yang tertinggal di dalam bis. Kalau sudah, kita turun.” Semua murid segera berdiri dan memeriksa tas ransel atau tas selempang mereka yang dipakai untuk membawa peralatan teknologi dan semacamnya. Setelah yakin, tak ada yang tertinggal, mereka mengucapkan terima kasih pada kondektur dan supir bis. Satu per satu mereka turun dan tetap tak ada yang mengetahui ketika Nathasha menatap supir bis dengan tatapan aneh. Bola matanya menghilang dan yang ada hanyalah bagian putihnya. Sementara itu sang supir malah membalasnya santai karena ia juga memiliki ‘kemampuan’ seperti itu.
“Wuoh, Grand Royal of Yogyakarta..!” Seru Adi. “Woy, kampungan..!” Seru Kenneth pada Adi. Jay dengan cepat memprotes, “Kenneth, Adi berhak untuk mengagumi tempat yang indah ini. Kau-“  “Iya, Jay,” angguk Kenneth, mencoba menjauhi diri dari ceramahan Jay yang menyebalkan. Jay sebenarnya benar. Adi dan yang lainnya pantas untuk mengaggumi tempat indah bernama Grand Royal of Yogyakarta itu. Bangunan megah pentagon berwarna cream dengan air mancur berpatung batu keramik. Air mancur tersebut seakan-akan menari sesuai irama lampu warna warni yang dinyalakan di bawah air tersebut. Ukiran berwarna emas yang bertuliskan ‘Grand Royal of Yogyakarta’ itu berkerlap-kerlip di bawah jingganya langit barat.
Saat mereka masuk, keadaan sungguh di luar dugaan mereka. Hotel yang mewah dan pantas dibintangi enam, jika mereka yang menilai, itu memiliki lobi yang benar-benar mewah. Langit-langit tinggi berporselen dihiasi dengan lampu Kristal yang indah. Lantai keramik yang diukir melingkar-lingkar berwarna cokelat sangat indah. Terlebih lagi, terdapat tangga berputar menuju lantai Upper Ground. Tangga tersebut benar-benar elegan. Dilapisi dengan karpet hitam di tengahnya lalu ukiran-ukiran melingkar di pegangannya membuat murid-murid kelas 7 tak dapat menguasai ke-jaim­-an mereka. Bagi yang tidak ingin capek jika menaiki tangga dengan barang berat, mereka dapat menaiki eskelator yang terdapat di sebelah kanan lobi atau lift di belakang tempat pendaftaran.
Semua murid memiliki hak untuk terperangah pada keindahan dan kemewahan hotel tersebut. Memang pantas dinamai ’Grand Royal’. Wali kelas menyuruh mereka untuk duduk di sofa-sofa banyak yang dapat memuat 7 orang di sana. Bantak yang empuk, kursi yang nyaman dan warna-warna merah, cokelat, dan cream membuat hasrat siswa siswi kelas 7 terbangkitkan untuk duduk di sana. Beberapa murid yang tidak mendapatkan sofa, para pelayan dengan senang hati meminjamkan kursi empuk, walau tak seempuk sofanya, dari ruang belakang. Dengan begitu, tak ada perkelahian di antara mereka semua.
Lalu mereka dikumpulkan per kelas untuk dibacakan teman sekamar mereka. Anak-anak perempuan akan mendapatkan Suite Presidential  karena di dalam mereka akan terdapat 5 orang atau lebih, sementara yang laki-laki akan mendapatkan kamar Superior, kecuali beberapa yang terdapat muridnya lebih dari 4. Lalu dibacakanlah teman sekamar mereka oleh wali kelas, “Kamar 70 isinya Aldoker, Adi, Eduard, Diaz, dan Wicak. Kamar 71 isinya George, Kenneth, Timoteus, Glenn, Adiet, dan Jay. Kamar 72 isinya Yolen, Kesha, Seungrin, Jeanette, dan Tania. Kamar 73 isinya Haemin, Fuchu, Lun-ah, Victoria, dan Tara. Kamar 74 isinya Lius, Michael, Theo, dan Vinsensius. Kamar 75 isinya Seraphine, Ruth, Christina, Claudia, dan Lacie. Kamar 76 isinya Shane, Katrina, Vani, Ella, dan Trixie. Kamar 77 isinya Charlene, Nathasha, Marci, dan Kiiro. Semua kamar ini ada di lantai 7. Jangan lupa jam delapan nanti kumpul di Ballroom. Nah, ayo berangkat..!” Seru Pak Aris sambil membagikan kunci masing-masing kamar.
Dengan segera, mereka menaiki lift dan menuju lantai 7. Lift tersebut dapat memuat maksimal 20 orang. Tetap dengan kemewahan yang tertera dalam lift tersebut. Kamera pengawas juga terpasang di sudut kanan atas jika terdapat kesalahan atau kecelakaan. Lalu secara lega dan senang mereka mengucapkan selamat bersenang-senang satu sama lain, “Bye, see you jam delapan di Ballroom, ya?” Dan mereka dengan letih namun juga senang berjalan sambil membawa barang bawaan mereka ke kamar masing-masing.
Koridor di hotel tersebut dilapiskan karpet merah dan sangat sunyi. Lalu mereka ingat akan perkataan Pak Aris minggu lalu bahwa hotel tersebut sudah dipesan khusus untuk murid Santa Ursula dan tidak akan ada orang yang mengganggu mereka. Pemesanan hotel untuk ketiga hari ini ditutup. Kelas 7A memakai lantai 5, kelas 7B memakai lantai 6, kelas 7C memakai lantai 7, kelas 7D memakai lantai 8, dan kelas 7E memakai lantai 9. “Ngeri juga kalo sepi begini, ya?” tanya Seungrin meminta persetujuan. “Iya, hati-hati di belakang, ya, Rin?” ceplos Nathasha mencurigakan. Seungrin hanya mendelik pada Nathasha.
Suasana di hotel itu cukup mencengkam. Hotel berbintang lima itu terasa sangat menyeramkan jika yang menempati hanya murid-murid Sanur, 5 wali kelas, dan beberapa kelompok pelayan yang bekerja di sana.
Dingin. Itulah yang dirasakan murid-murid kelas 7C ketika membuka pintu kamar tersebut. Mereka masih saja tidak perduli dengan hal itu. ‘Paling suhu AC-nya gue turunin biar gak sedingin ini,’ batin Ica meskipun ia juga tetap gugup. Ya, kamar tersebut memang sangat bagus. Ruangan yang besar. Begitu masuk, murid-murid perempuan terperangah takjub karena saat masuk langsung terdapat sofa panjang yang dapat diubah menjadi tempat tidur. Bantal-bantal yang empuk, selimut yang hangat, dan special langsung menghadap ke televisi LCD yang ditempel di dinding depan sofa tersebut. Di samping sofa tersebut, terdapat meja makan dengan kayu terbaik dan cermin dengan ukiran Jawa yang indah. Mereka berbelok ke kiri dan ditemukan kamar mandi dengan Jacuzzi kayu terbaik. Cukup luas dan nyaman.
Seungrin, Kesha, Yolen, Jeanette, dan Tania segera mengubah sofa tersebut menjadi tempat tidur. Mereka lalu merebahkan diri dan menyalakan televisi. “Kita mau nonton apa, nih?” Tanya Jeanette. “Film aja. Paling HBO,” balas Yolen cuek. Jeanette segera mengatur saluran televisi dan ternyata HBO sedang memutarkan film Harry Potter and The Deathly Hallows bagian pertama. “Oh, HP…” ujar Tania. “Kes, katanya lu suka HP, kok, gak ada respon?” Tanya Seungrin. “Gak, gue gak suka HarPot. Gue suka Draco Malfoy, kok..” Kesha terkekeh pelan. “Yeah.. Yeah..” ujar mereka minus Kesha sarkastis.
Mereka berlima menonton flim tersebut dengan perasaan biasa saja karena sudah pernah melihat film tersebut. Namun yang membuat mereka ribut adalah Kesha. Karena setiap kali terdapat adegan Draco Malfoy, ia pasti langsung berteriak-teriak tak jelas meskipun hanya sebentar. Film tersebut lalu selesai sekitar jam 7 malam.
“Udah, yuk?” ajak Seungrin. “Siapa yang mau mandi duluan?” Tanya Tania. “Biar adil pake nomor absen aja,” usul Jeanette. “Jeh, berarti gue paling akhir, dong?” tanya Kesha tak percaya. “DL,” ucap Tania acuh tak acuh. Kesha hanya mendelik sebal.
Akhirnya semua sudah selesai mandi dan berpakaian. Baju yang mereka pakai merupakan gaun pintar yang elegan. Mereka menata rambut dan dandanan mereka dengan simple, namun menawan. Ya, gorgeous. “Udah?” Tanya Seungrin. Yang lain mengangguk. “Yuk,” ujar Tania sambil membuka pintu. Michael dan kawan-kawan ternyata keluar pada saat yang bersamaan.
“Hai..!” Seru Michael, Vinsensius, Theo, dan Lius hampir bersamaan. “Hai, juga..!” Balas kelima perempuan itu ceria. “Bareng, yuk?” ajak Vinsensius. Tania mengangguk. Mereka berjalan menuju lift dan turun 5 lantai ke lantai 2. Dan saat itulah Yolen mulai menggerutu panjang tentang acara ini.
“Kenapa, sih, harus pake gaun dan make-up yang ribet ini?” geramnya saat berada di dalam lift. “Pakaian formal, kan, bisa pake celana kain ama kemeja.”
Anak laki-laki terkekeh pelan. “Elu tomboy, sih, Yol..” ujar Cornelius. “So what?” Yolen mendelik pada Lius. “Pake gaun bentar gak apa-apalah. Kan, lumayan kalo misalnya ada yang mau nembak elu,” sengir Michael. “Wuoh….” Seru anak-anak perempuan minus Yoleen. “Mike, berencana nembak Yolen, ya?” Senyum jahil tertera jelas di wajah Jeanette. Michael mengangkat salah satu alisnya, “Maksud lo?” Yolen sudah akan memukul Jeanette ketika pintu lift terbuka di lantai 2.


~RT @Queen_Violette
~ Next part....

Trust and Faith (Part 1)


Masih part 1, aku singkat
Enjoy and no flames, please?                                                      


-Trust-
Suasana di kelas ber-AC itu seperti biasa. Ribut, berbicara – RALAT – berseru ke sana kemari, berjalan santai di depan kelas, bermain, dan sebagainya. Tau apa penyebabnya? Tak tau? Serius? Tentu saja karena tak ada guru yang mengawasi.! Sementara Adiet, sang ketua kelas yang menyebalkan – begitu pandangan Kesha terhadapnya – masih saja ikut bernyanyi ria dengan Lacie, Yolen, Claudia, dan Christina. Kesha hanya menggelengkan kepalanya melihat ketua kelas yang tidak benar ini.
Ia maju ke depan kelas dan mengangkat salah satu tangannya untuk meminta perhatian dari teman-teman kelasnya, “Temen-temen..!” Serunya lantang. “Temen-temen 7 C, gue minta perhatian bentar, dong..!” Kesha berseru dengan suara dalamnya agar tidak terdengar cempreng saat berteriak. Ia memandang ke seluruh isi kelas berwarna putih-kelabu itu. Mereka masih saja mengacuhkan gadis dengan tinggi 153 cm itu. “Temen-temen..!” Kesha berseru sekali lagi, kali ini lebih kencang dan lebih dalam. Tetap tak ada yang ‘mendengar’. Ia memandang Adiet dengan pandangan tak ada harapan. Adiet tetap saja mengacuhkan kelas yang ribut itu.
Kesha lalu meminta bantuan Wicak, anak yang paling ‘suci’ di kelas itu karena ia merupakan seorang Putra Altar. “Cak, semua ribut. Gak ada yang mau dengerin gue. Adiet malah sibuk sendiri. Gimana dong?” Kesha mengentakkan kakinya kesal. Wicak diam sejenak lalu berkata dengan suara bijaknya yang menyebelkan, “Matiin lampunya. Pasti semua diem.” Kesha berjalan ke arah belakang meja tinggi (atau meja guru) dan menatap ragu pada Wicak. Sementara ia melihat seisi kelas yang masih ribut seperti pasar. Dan dengan yakin ia mematikan lampu kelas. PET..
Benar saja seisi kelas langsung menatap ke arah Kesha terkejut. Dengan perasaan lega, Ia menyalakan kembali lampunya. “Tuh, makanya.. Respect ama orang.. Temen-temen, please, gue butuh kerja sama kalian. Katanya 7C itu keluarga yang kerja samanya bagus nah, buktiin dong..! Gue dari tadi teriak dan gak ada yang dengerin bikin gue gak yakin ama kepedulian 7C..” Kesha memprotes mereka denga cara halus. Ia melanjutkan dan mendelik sebentar pada Adiet, “Gue gak bilang lu semua gak boleh ngomong, tapi tolong dong.., kalo ngomong gak usah keras-keras. Kita, kan, The Best Class. Coba, masa’ The Best Class ribut setengah mati? Ga mungkin, kan? Nah, thanks dan itu Pak Aris udah dateng.” Kesha berjalan ke arah kursinya di sebelah Charlene.
CKREK…
Pak Aris masuk dan semua anak langsung bungkam mulut.
“Selamat pagi,” sapanya dengan suara ‘seperti biasa’.
Semua murid lansung berdiri. Glenn langsung memukul meja dan itu pertanda bahwa mereka harus membalas sapaan guru, “Sela – “
Perkataan murid terpoton oleh Pak Aris, “Hey, Glenn. Kamu gak liat apa? Itu masih ada yang garuk-garuk leher, tuh, Adi masih beresin buku. Ayo ulang..”
Semua berdiri dengan tegap. Beberapa anak memutar bola matanya malas. Sekali lagi Glenn memukul meja, “Selamat pagi, Pak.!” Seru murid-murid 7 C.
Pak Aris mengangguk dan langsung mempersilahkan murid-murid duduk.
“Perwalian kali ini ada yang mau saya bicarakan tentang karya wisata ke Yogyakarta nanti.” Murid-murid lansung tersenyum senang. “Saya akan memberitahukan kalian apa saja yang harus di bawa. Catat, ya?” Murid-murid kelas 7C tersebut langsung mengambil agenda dan pensil mereka. “Bawa pakaian bersih secukupnya. Buat 3 hari, itung ajalah. Terus, makanan ringan kalau mau. Buku bacaan boleh, ponsel juga boleh di bawa – “
Perkataan Pak Aris sedikit terpotong karena beberapa anak berbisik ria karena diperbolehkan membawa ponsel. Pak Aris kemudian melipat tangannya dan menatap murid-murid agar mereka diam sejenak, “Michael, udah ngomongnya.. Dilanjutin nanti lagi..” Beberapa murid menatap Michael yang sekarang menatap Pak Aris dengan pandangan please-deh-bukan-gue-doang-yang-ngomong. “Gak adil banget, sih,” bisik Michael pada Ica yang duduk di belakangnya. Ica hanya mengangguk.
“Oke,” ujar Pak Aris, “Sampai di mana tadi kita?” Michael berbisik pada Lius, “Di kuburan..” Lius dan Michael terkikik meledek. Pak Aris langsung menatap kedua pemuda yang jago basket itu, “Udahlah, itu nanti aja.” Kembali Pak Aris berbicara, “Ya, kalian boleh membawa ponsel. Lalu, besok pakai celana jeans panjang untuk bawahan dan atasan bebas tapi, harus tetap sopan dan rapih. Untuk yang perempuan, rambut boleh digerai (anak-anak perempuan ber-high five ria). Ya, paling itu saja yang ingin saya sampaikan. Ada pertanyaan?”
SET. Tangan Vinsen terancung ke atas, “Pak, besok boleh bawa kamera, nggak?”  Semua anak langsung menatap Vinsen dan berseru nyaring, “Vinsen, kalau disuruh ke kanan, jangan belok kiri…!!” Vinsen hanya menatap mereka diam lalu langsung bicara, “Orang gue cuman mau nanya, sih. Galak amat.” Theo langsung berseru, “Ya gak usah segitunya juga kalo nanya. Kaya orang idiot, tau gak?” “Hmm.. Hmm,” Angguk Vinsen mengerti.
“Ada lagi pertanyaan untuk 1 menit terakhir?” Tanya Pak Aris. Masing-masing menatap murid lainnya, siapa tahu ada yang masih ingin bertanya. “Gak ada? Ya, sudah. Persiapkan untuk besok, jangan ada yang lupa di bawa dan satu lagi sekolah TIDAK bertanggung jawab atas kehilangan barang. Jadi JAGA baarang dengan baik,” Ujar Pak Aris dengan menekankan kedua kata penting itu. Beberapa murid mengangguk dan kemudian merapikan barang-barang lalu berdiri di samping kanan meja mereka.
Setelah yakin semua siap untuk berdoa, Pak Aris mengangguk dan kemudian memimpin doa. Di tengah-tengah doa, terdengar bunyi bel tanda sekolah  usai. Meskipun begitu, tak ada satu anggota kelas 7C yang kehilangan iman mereka ketika berdoa karena suara bel tersebut. Dan mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Beberapa dari mereka masih ada yang memiliki kegiatan sore seperti basket putri, voli putra, dan pembinaan fisika.
Kesha, Yolen, dan Christina segera berjalan menuju tempat ruang ganti perempuan. Di dalam, mereka bertemu dengan Viona dan Indy dari 7A, Marcha dan Mariana dari kelas 7E, Jennifer, Mareyke, dan Michelle dari kelas 7C, dan Floren dari kelas 7D. “Hai, Kes, Yol, Bon,” sapa mereka tersenyum. Mereka membalas sapaan teman-temannya dan berganti baju dengan cepat.
“Eh, Kes,” ujar Christina. Kesha menengok, “Hm?” Christina menatap Kesha dengan senyumnya yang biasa digunakan untuk melucu, “Ntar, temenin gue jajan, ya?” Kesha mengerutkan keningnya, “Ngapain? Lo kira gue babu lu apa?” “Ya, enggak.. Temenin aja.. Oke?” “Gak,” ujar Kesha sambil mendelikan matanya. “Ayo, ah..!”
Mereka bertiga keluar dari ruang ganti putrid dan duduk di hall untuk makan siang sebelum melanjutkan kegiatan sore. “Kes, temenin jajanlah,” bujuk Christina pada Kesha yang sudah mengeluarkan kotak makannya. “Sama Yolenlah dia – “
Perkataan Kesha terpotong oleh Yolen, “Ooo, ora bisa.. Gue mau ke toilet.”
“Tuh, Yolen mau ke toilet. Ayolah..” Raut mukanya dibuat menjadi sememelas mungkin. Kesha melihat Michelle dan Jennifer yang mau jajan di kantin juga dan ia dapat ide, “Tuh, ama Icel. Dia juga mau jajan,” ujar Kesha. Christina lalu mendongakkan kepalanya dan benar, Michelle juga mau jajan. “Bye, Kes,” Ia langsung meninggalkan Kesha yang sibuk dengan nasi gorengnya.
>Tomorrow morning<
“Hai, Shane,” sama Lacie dengan suara yang dilagukan seperti biasa. “Hai, Lacie,” balas Shane sambil tersenyum manis. Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh murid-murid kelas 7 SMP Santa Ursula BSD. Mengapa? Karena mereka akan pergi ke Yogyakarta untuk menghibur diri setelah ujian melelahkan lewat. Murid-murid akan menginap di hotel terbagus dan termewah di Yogyakarta, Jawa Tengah. Seperti yang sudah dikatakan wali kelas masing-masing bahwa anak perempuan boleh menggeraikan rambutnya, maka sebagian besar anak perempuan menggeraikan rambut dan poni mereka.
KRING..! Bel  masuk sekolah berbunyi. Anak-anak kelas 7C menyunggingkan senyum sumringah dimana mereka sudah tak sabar untuk pergi ke Yogyakarta. “Katanya kita nginep di Grand Royal of Yogyakarta, lho..” ujar Aldoker semangat pada Adi. “Iya, gue juga ga sabar.. Katanya mahal banget, cuy. Pantes aja kita bayar ampe 1 jutaan,” balas Adi pada Aldoker.
Adiet, sang ketua kelas, langsung berjalan maju ke depan kelas dan berseru, “Temen-temen, diem sebentar tolong..!” Tentu saja tak ada yang memperhatikan jika semua murid terlalu gembira untuk memikirkan apa yang akan mereka lakukan di sana dan lain-lain. “Temen-temen..!” Adiet berseru lebih dalam. Tetap tak ada yang memperhatikan sang ketua kelas. Adiet lalu berjalan cepat menuju Kesha dan berkata sekenanya, “Kes, itu kelas berisik. Gue mau ngomong tapi, gak ada yang dengerin. Bantuin dong?” Kesha menghela nafasnya dan tersenyum jahil, “Katanya keperayaan teman-teman, kok, bisa mereka gak ngedengerin elu?”  Adiet mendelik pada Kesha, “Ayolah, wakil..!” “Iya.. Iya..”
Mereka berdua kemudian berjalan ke depan kelas. Pertama, mereka mengamati suasana kelas yang ramai bukan main. Paling parah adalah Michael, Theo, Lius, dan Vinsen yang sedang menyanyikan lagu “Champagne Shower” dari LMFAO. Kedua, mereka melihat Wicak, George, dan Eduard yang sedang celingukan kesana kemari seperti sedang mencari sesuatu. Dan akhirnya, Adiet dan Kesha berpandangan satu sama lain dan berseru dalam, “TEMAN – TEMAN…!!!”
Agaknya, seruan dalam mereka berhasil karena sebagian besar murid langsung menatap mereka dengan tatapan terperangah. “Gak punya etika, ya, lo semua..!” Seru Kesha sambil menunjuk seisi kelas. “Masa gue ato Adiet mesti mati-idup lampu cuman buat kelas tenang?” Seisi kelas langsung menatap mereka dengan tatapan bersalah. Ada juga yang menatap mereka dengan pandangan urusan-lo-bukan-urusan-gue.
“Adiet mau ngomong,” ujar Kesha sedikit tenang lalu mulai menambahkan, “Ampe ada yang motong pembicaraan, ga punya etika lu..”
Tatapan mata langsung beralih ke Adiet yang sedari tadi hanya tenang dan melipat kedua tangannya di depan dadanya, “Oke, temen-temen. Nih, bawa semua barang-barang kalian ke Aula. Jangan ada yang dilupain dan kita akan baris ke Aula untuk briefing – ampe ada yang ngomong selama perjalanan, kasih gue komisi 10% dari uang jajan lu..” “Woooo….!!!” Seru seisi kelas tak terkecuali Kesha, Adi, dan Lacie yang merupakan pengurus kelas. “Ayo, jalan..!”
“Dikira kita domba apa? Disuruh begitu?” ujar Glenn pada Diaz. “Heh, ngomong apa tadi lo?” Tanya Adiet sambil menunjuk Glenn yang merengut. “Gak ada,” balas anak kurus itu tanpa memandang Adiet. “Ayo jalan,” Kembali Adiet berseru.
Mereka semua membawa koper kecil, tas tenteng besar yang biasa dipakai untuk pergi berenang, dan peralatan mereka masing-masing. “Jalan ke Aula, ga ada yang ngomong. Inget kata gue tadi,” ujar Adietl meyakinkan. Beberapa anak menggumam tak jelas.
Murid kelas 7Cemangka – itu nama panggilan untuk kelas 7C – berjalan malas menaiki tangga untuk ke Aula. “Diet, sumpah,” ujar Aldoker mengeluh, “Masa kita harus bawa segini berat buat ke Aula? Gimana, sih?” Adiet menatap Aldoker malas, “Ya, mana gue tau. Tanya ama gurunyalah, orang gue cuman dikasih perintah..” Eduard berbisik jahil pada Diaz, Jeanette, dan Charlene, “Ka’cung..” Keempat orang itu tertawa terbahak-bahak karena candaan murid jenius itu. Wajah Charlene mulai memerah karena tertawa terbahak-bahak. Lalu kemudian beberapa anak mulai ikut tertawa. Bukan menertawakan candaan Eduard, namun Charlene. Karena wajahnya sudah mengalahkan kepiting rebus. Jeanette sudah tak bisa berjalan lagi, Ella wajahnya sudah memerah, Fuchu sudah hampir menangis, George sudah memegangi perutnya. Semua dikarenakan oleh Charlene.
Namun mereka langsung berhenti ketika mendapat tatapan inget-perkataan-gue-tadi dari Adiet. Meskipun sudah berhenti tertawa, beberapa dari mereka yang tertawa masih saja cekikikan atau menahan tawanya dengan menggigit bibir bawah mereka seperti Ella dan Charlene. Adiet, Katrina, dan Jay hanya geleng-geleng kepala soal ini. Dan akhirnya selama 3 menit mereka berjuang untuk mengangkut dosa-dosa mereka yang terlalu banyak, mereka sampai di Aula dan menaruh dosa mereka di sana dan mereka diberkati dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin. Ok, stop it, Kezia..!
Salah..! Mereka menaruh barang bawaan mereka di atas panggung kecil yang terdapat di Aula dan langsung mengambil tempat duduk. Suasana di Aula tak jauh berbeda seperti saat di kelas. Ribut tak ada ampun. Tempat tersebut sangat penuh oleh murid yang berjalan kesana kemari, guru-guru yang membawa kertas dan pulpen, dan bahkan karyawan yang masih saja mengepel sayap Aula. Sebenarnya, ia tak dibutuhkan di saat seperti ini. Mengapa? Tempat ini penuh dengan orang yang berlalu lalang. Akan merugikan jika ia sudah mengepel, namun diinjak lagi. Dipel, diinjak lagi. Dan seperti itu hingga beratus-ratus kali. Atau bisa saja ada yang terpeleset. Yah, siapa peduli? Author saja tidak peduli apalagi yang lain? Baiklah.
Karena ruangan yang sesak penuh guru dan murid, Pak Djoko memutuskan untuk menyalakan 4 AC di ruangan tersebut. Masih dalam suasana ribut Kiiro berbisik protes pada Marci, “Kenapa gak daritadi aja, sih, dinyalain? Panas..” Marci kelihatannya setuju dengan Kiiro sehingga ia menjwab, “Iya, aku juga daritadi kepanasan.” Belum sempat Kiiro menjawab, sang kepala sekolah – Bu Eus – akan mengatakan sepatah dua patah kata sebelum mereka berangkat ke Yogyakarta.
Tatapan mata anak-anak memang terlihat meyakinkan untuk menyimak pidato Bu Eus, namun sebenarnya tidak. Banyak yang muncul di benak mereka saat itu. Seperti Seungrin yang masih memikirkan orang yang ia suka, Haemin masih sibuk dengan keantusiasannya dalam acara ke Yogyakarta ini, dan masih banyak lagi. Pemikiran masing-masing berbeda dan tentu saja tak banyak yang memerhatikan Bu Eus. Anak kelas 7C yang sudah pasti mendengarkan pidato Bu Eus adalah Jay. Ia memang tahan dalam kondisi seperti ini. Tak seperti murid lain, Jay mencintai dunia politik. Dimana ia dapat berdebat dengan baik apabila ia menggunakan ilmu politiknya di depan orang. Namun, semangatnya yang terlalu berlebihan membuat murid lain agak segan dengannya. Satu hal yang perlu diperhatikan dari Jay, ia tak pernah membuyarkan kefokusannya terhadap sesuatu apapun yang terjadi. Dan itu merupakan hal yang dibanggakan Author dari Jay.
Semua murid terbangun dari mimpi indah mereka ketika mendengar kata “Terima kasih” dari Bu Eus dan memberikan tepukan yang meriah seakan mereka mencerna isi pidatonya namun tidak. Senyum antusias sudah terlihat di wajah masing-masing murid lalu semua itu sedikit – oke – memudar drastis karena Pak Hari, guru yang mengajarkan Pendidikan Kewarganegaraan di kelas 7C, berkata bahwa mereka harus membawa kembali barang-barang yang mereka bawa ke dalam bis yang telah disiapkan. “Aaargghh…!” Gerutu semua anak marah. Darah mereka sudah mulai naik karena kejadian tak terduga ini. “Lah, kenapa harus marah? Memang Anda tidak diberitahu?” Tanya Pak Hari pada mereka. “Nggak..!!!” Seru mereka marah membalas perkataan Pak Hari. Dan emosi mereka bertambah drastis ketika Pak Hari berkata, “Ya, sudah. Saya minta maaf.  Nanti tidak ada kejadian seperti ini lagi, ayo, bawa barang-barang kalian..” Dan wajah murid-murid kelas 7 yang seharusnya dihiasi senyum tampan dan cantik mereka sekarang menjadi hilang karena datang angin badai di atas kepala mereka yang panas itu.
Mereka semua berusaha untuk membawa barang mereka kembali turun. Banyak murid yang menggerutu sepanjang perjalanan. “Aarggh..! Plin-plan banget, sih,” gumam Eduard kesal. George mendecak, “Udahlah, pasrah aja. Paling mereka juga bakal kena akibatnya.” Eduard hanya mengangguk mendengar perkataan George yang bijak. Wicak terlihat agak mendelik pada George karena biasanya ia menyarankan saran bijak. Namun, bagus untuknya karena tak ada yang melihatnya mendelik.
Sesampainya di hall banyak anak yang langsung duduk selonjoran. “Hosh.. Hosh.. Capek, sumpah. Belum apa-apa udah mandi gue,”  ujar Kenneth. Diaz mengangguk setuju. Jay, seperti biasa dengan suara wibawanya, berseru agak marah pada mereka yang duduk selonjoran, “Kiiro, Anda tak pantas duduk berselonjoran. Kamu ini perempuan. Kamu juga Marci. Aldo, Diaz, dan Kenneth sudahlah, tak usah banyak menge – “ Perkataan Jay terpotong oleh Lacie, “Jay, udahlah! Kita semua capek, nggak usah ngurusin orang lain napa?” Dahinya mengerut karena marah. Jay dengan cepat mendatangi Lacie, “Lacie, saya tidak – “ Sekali lagi perkataan Jay terpotong, “JAY..!!” Seru hampir sebagian murid 7C karena kesal. Dan anak berkacamata itu pun langsung bungkam mulut.
Secara satu per satu, murid-murid kelas 7 diabsen oleh wali kelas dan ketua kelas masing-masing. Dan ketika yakin semuanya sudah lengkap, para wali kelas segera menuntun anak didiknya ke bis yang telah disiapkan sekolah di parkiran SD. Sekali lagi banyak murid yang mengeluh karena harus membawa barang bawaan mereka yang berat. Sekolah memberikan 5 bis, sesuai 5 kelas 7. Kode yang dipakai merupakan kode dari kemauan murid-mruid itu sendiri. Kelas 7A memakai kode 7Aces, 7B memakai kode 7Benjo, 7C memakai kode 7Cemangka, 7D memakai kode 7Dreams, dan kelas 7E memakai kode 7Extraordinarie.
Murid-murid memasukkan barang bawaan mereka ke dalam bagasi bis tersebut. Beberapa ada yang masih sempat dorong-mendorong karena ingin buru-buru masuk ke dalam bis dan mendinginkan kepala yang panas. Secara tak sengaja, Vinsensius  mendorong Tara sampai jatuh. Gadis itu meringis kesakitan, sementara Vinsen sudah masuk ke dalam bis. “Tara, lu ga apa-apa?” Tanya Tania khawatir akan sahabatnya. “Auu,” ringis Tara kesakitan. “Eh, tangan lu berdarah, Ra,” ucap Victoria panik. Tara melihat lengannya yang tergores berdarah ia hanya mendelik pada lukanya. “Gue bilangin Pak Aris, ya?” Tanya Tania. “Eh, gak.. Gak usah,” Tolak Tara. “Tangan lu udah berdarah, lu mau infeksi apa?” Tanya Victoria. Tara berpikir sejenak, “Ya udah deh..”
Victoria lalu memberitahu Pak Aris tentang kecelakaan kecil tadi. Raut wajah Pak Aris yang semula agak sayu sekarang menjadi terkejut. Ia segera mendatangi Tara lalu menuntunnya naik ke dalam bis. Pak Aris segera menuntun Tara untuk duduk di kursi depan di samping Pak Aris. Wali kelas 7Cemangka itu segera meminta P3K dari supir bis lalu mengobati luka di lengan Tara dengan obat merah. Setelah lengannya diplester, Pak Aris mempersilahkan Tara kembali ke tempat duduknya bersama Victoria, Tania, Lun-ah, dan Fuchu.
“Anak-anak dimohon tenang sebentar,” ujar Pak Aris dengan mikrofon. Karena suara Pak Aris yang membesar karena mikrofon, murid-murid segera menolehkan kepalanya ke sumber suara. Pak Aris melihat ke seluruh bis sebelum ia mulai berbicara lagi, “Michael, kamu ngapain duduk di sandaran kursi? Memalukan, turun! Lius, jangan bersiul lagi. Nathasha udah selesai berbicara dengan Vani? Karena saya ingin berbicara.” Siswa dan siswi yang disebutkan oleh Pak Aris segera duduk diam dan memperhatikan wali kelas mereka.
“Nah, sebelum perjalanan dimulai, saya mau mengabsen ulang. Jadi, mohon perhatian kalian..” Nathasha lalu berbisik pada Vani, “Perasaan tadi udah di absen, deh.” Secara tak sengaja Pak Aris ternyata mendengar perkataan Nathasha, begitu juga dengan murid lainnya. Murid-murid segera memberikan tatapan diem-lu pada Nathasha. “Kan, saya hanya mengecek ulang, Tasha,” ujar Pak Aris sambil tersenyum. Nathasha hanya mengangguk,” Iya, Pak..” Murid lain merasa terganggu dengan Nathasha, “Ssshhh..!!”
Nathasha mengerutkan keningnya, “Gue salah apa, sih?” “Salah banyak..!” Seru Vinsensius dari belakang. “Vinsensius..!” Tegur teman-temannya. “Gue lagi, kan, yang salah?” ucapnya pasrah. Nathasha menjulurkan lidahnya pada Vinsensius sementara Vani menenangkannya agar tidak melunjak, “Udahlah.. Itu Pak Aris udah mau ngomong.” Nathasha hanya mengangguk.
Pak Aris mengabsen ulang semua murid-murid 7C agar tidak ada yang tertinggal. Bagus, semua murid lengkap. “Oh, dan satu lagi,” ujar Pak Aris, “Kalau ada barang yang hilang, Santa Ursula tidak bertanggung jawab, maka jaga barang dengan baik.”
“Iya, Pak..!” Seru murid-murid 7C kompak, namun malas. Dan mereka memulai perjalanan.
Dalam perjalanan menuju Yogyakarta, mereka bersenda gurau. Ada yang bermain Jujur Berani atau biasa disingkat JuBer.  ~Author say: Anggep aja ini belum dilarang~  Mereka bermain JuBer dibagi dalam beberapa kelompok karena mungkin mereka merasa lebih nyaman jika tidak bermain dengan orang yang mereka benci atau orang yang mereka suka. Michael, Lius, Vinsensius, Ica, Adiet, Trixie, Theo, Seungrin, Diaz, Ruth, Christina, Yolen, Kesha, Lacie, Jeanette, Charlene, dan Shane berada dalam satu kelompok yang anggotanya memang paling banyak. Di sisi lain, Fuchu, Lun-ah, Haemin, Tara, Victoria, dan Tania bermain JuBer juga. Aldoker, Adi, Eduard, Timoteus, Glenn, dan Kenneth bermain JuBer di siisi lain. Sementara sisa murid-murid lain  yang tidak disebutkan sudah sibuk sendiri dengan urusan masing-masing, seperti curhat, bersenda gurau, jayus, dan bahkan hanya ada yang berdiam diri untuk menikmati perjalanan.
Suasana di bis riuh rendah. Yang paling membuat berisik adalah kelompok bermain JuBer karena setiap orang yang menjawab Berani dan selesai menjalani tantangan yang diberikan oleh temannya, sering tertawa terbahak-bahak. Ica bahkan disuruh untuk mencium jendela selama 8 detik, Trixie disuruh mengatakan ‘I Love You’ pada Aldoker, Christina disuruh  untuk ‘menembak’ Vinsensius, Lius disuruh untuk membuat gombalan dengan kata ‘Basket’. Yah, memang macam-macam saja permainan anak remaja zaman sekarang.
“Tadi aku main basket. Waktu aku masukin ke ring, kok, masuknya ke hati kam, sih?” gombal Lius terpaksa karena permainan JuBer ini. Anak-anak yang bergabung dalam kelompok itu dengang semangat berteriak, “CIEEEE…!!! Buat siapa, tuh..?!” Saking berisiknya, Pak Aris sampai mendatangi kelompok tersebut. “Hey, kalian ingat tidak apa yang saya katakan sebelum berangkat tadi?” Lalu dengan cepat, suasana di bis langsung menjadi sunyi. Beberapa anak yang ikut dalam kelompok Seungrin menunduk bersalah. Dan beberapa lagi menatap Pak Aris dengan pandangan menantang meskipun wali kelas tersebut tak mengubrisnya.

~Segini dulu....
  RT @Queen_Violette buat ide -.-

Jumat, 16 Maret 2012

Your Promise

Charlene baack~
so sorry Violene Lianette jd jarang post, kita lagi 'dihujanin' tugas-tugas.
baru-baru ini kita midtest T-T
okeee curcol over~ sekarang aku mau post screenplay originally from me[:
Ini cerita pertamaku so readers, sorry kalau belum bagus. That's why we need comments and critics!
But no flame please(:
Hope you enjoy readers~

Ohya, warning for lovey-dovey stories hihi..
ENJOOY~ <3

Your Promise

SYUU... Angin menerpaku dengan lembutnya.  Kusibak rambutku ke belakang dengan tetap menatap langit yang dipenuhi berbagai macam bentuk awan itu.
'Entah sampai kapan aku akan terus seperti ini hanya karena menunggumu', pikirku.
"Sudah hampir 10 tahun berlalu ya, Draine.. Entah ada dimana kau sekarang.. Satu kabar pun tak kudengar darimu. Hhh..."  Aku mendesah seakan-akan aku menanggung sebuah beban yang berat.
Aku mengangkat kalung yang tergantung di leherku itu dan memandanginya selama beberapa detik.
"If you really mean what you say back then, come back! Dont you know i'm suffering here, just because i'm missing you!"  geramku.
"El? Something's wrong?" terdengar sebuah suara lembut yang sudah tidak asing lagi di kupingku
"Nothing, mom" jawabku
"Oh, okay. Could you come here for a minute?"
" 'Kay mom, hold on sec"
Aku beranjak dari taman itu dengan malasnya dan berjalan menuju sebuah bangunan besar yang sudah kutinggali sejak lahir. Terpampang jelas sebuah papan diatas pintu masuk bertuliskan, 'Mansion Vlauremill '
"Ada apa mom?" tanyaku begitu masuk
"This, ada undangan Ball dari keluarga Bronscheir di mansionnya malam ini. Mom mau kamu datang mewakili kelaurga kita. Tentu kamu tidak keberatan kan?"
"Nope, absolutely not. Memangnya mom dan dad kenapa tidak bisa datang?"
"Mom dan dad ada urusan dan harus segera ke Paris. We're going on the first flight tonight"
"Ooh.. okay. Bye, mom"
" Kay, bye sweetie. Take care." setelah mengecup keningku dia langsung pergi dengan ferrari yang sudah disiapkan. 
Dimana ayahku? Yah.., dia tidak suka ber-basa-basi bila ada sesuatu yang 'urgent'.
~ @ NIGHT 18:30 ~
Aku turun dengan dress sutra berwana putih keunguan tanpa tali dengan panjang selutut dan pita kecil di bagian sampingnya. Rambutku yang sedikit ikal, kujepit ke belakang bagian sampingnya.
Sebastian, supirku, membukakan pintu limosin sambil berkata, "You look stunning, miss"
"Thankyou, Sebastian" jawabku anggun.
Kami langsung berangkat dan sampai di Mansion Bronscheir sekitar pukul 18:50. Aku langsung mansion tersebut dengan disambut para maid Broncheir.
"Greetings, young lady Vlauremill." kata para maid itu sambil membungkuk dan aku membalas dengan seulas senyum sambil membungkuk juga.
Keluarga Vlauremill dan Bronscheir sudah berteman sejak lama, jadi aku sudah dikenal oleh para maid disini. Akupun berteman baik dengan anak-anak keluarga Bronscheir.
Ketika aku sedang menikmati earl grey-ku , aku mendengar suara yang sangat tak asing bagiku.
"My.my.my.... Is it me or is it really you Elline Charlotte Vlauremill?"
Aku segera menoleh kearah suara itu dan melihat seorang pemuda tampan dan tinggi dengan jas yang terlihat high-class.
"Travis, is that you?" tanyaku dengan ragu-ragu.
"Yup.."
"Travis! Oh how i miss you! Long time no see! Bagaimana kabarmu?"
"Well, as you can see, i'm perfectly fine. I miss you too!"
Aku langsung memeluknya dengan erat walaupun aku harus berjinjit karena ia benar-benar tinggi.
"Ckck.. Sorry to interupt but hey! Don't forget about me!"
Aku menoleh dan sekali lagi terkejut.
"Derek! I miss you sooo much! How could i forget about you!" aku langsung memeluknya dengan erat.
Sudah sekitar 2 tahun aku tidak beretmu dengan Travis dan Derek.
Karena mereka adalah kedua anak Bronscheir yang dianggap sudah cukup dewasa, maka mereka membantu pekerjaan keluarga Bronscheir.
Sedangkan adik mereka yang paling kecil yang-adalah-teman-baikku, Kesha Violetta Bronscheir yang baru berumur 18 tahun sepertiku, belum ikut bekerja.
Ketika aku sedang asyik mengobrol dengan Derek dan Travis, tiba-tiba lagu sudah memenuhi seisi ruangan.
"May i have this dance, my lady?" Tanya Travis sambil sedikit membungkuk dan mengulurkan tangannya layaknya seorang prince. Aku mengulurkan tanganku dan ia menciummnya lembut.
BLUSH...
Rona merah muncul di wajahku. 'Sejak kapan Travis berubah menjadi seorang gentleman seperti ini?' pikirku.
Travis menarikku agar menjadi lebih dekat dengannya lalu kami berdansa mengikuti irama lagu. Setelah selesai tiba-tiba Derek langsung menarikku ke dalam pelukkannya.
BLUSH...
Rona merah kembali muncul di wajahku.
"She's mine now, Travis. Waktumu sudah habis!"
"Okay,okay.. Terserahmu saja.."
Travis menoleh kearahku dan tersenyum jahil.
"Pleasure dancing with you, princess."
"Pleasure is mine" jawabku dengan malu-malu.
Aku kembali berdansa dengan Derek, ketika seorang pemuda bertubuh tinggi dengan rambut pirang yang sedang bercakap-cakap tertangkap oleh mataku. Saking seriusnya memerhatikan lelaki itu, tak sadar aku menginjak kaki Derek.
"Ouch.." erangnya
"Ohgosh.. I'm so sorry! Sakit ya? Sorryy!"
"It's okay, calm down El.."
"Okay.. so sorry!"
Lagu telah selesai dan aku segera meninggalkan dance floor  untuk mencari pemuda tadi. Setelah mencari di beberapa tempat, aku menemukannya sedang duduk sendirian di sebuah kursi dekat air mancur.
Tanpa pikir panjang aku segera menghampirinya karena ia sangat mirip dengan seseorang yang sudah lama tidak kutemui.
Aku menghentikan langkahku saat aku berjarak sekitar 3m darinya dan tersentak kaget.
'Draine'
Itulah satu kata yang terlintas di kepalaku ketika melihat wajahnya.

Part 1 finishedddd~ How was it? Bagus?
Semoga suka ya..
Critics and comments please! But no flame please[:

wait for part 2 readerss!

XOXO,
Charlene:3

Sabtu, 03 Maret 2012

Trust and Faith (Tokoh)


                                                                    Trust
Cerpen atau Novelette ini dibuat Violette untuk menghargai kerja sama anak-anak 7Cemangka. FIGHT..! Ini tokohnya (Biar singkat)

1
Aldoker
2
Adi Triple Jr.
3
Just Adiet
4
Agiacy Charlene Vlauremill
5
Kazeyomi Kiiro
6
Wicak’s Scout
7
Febby Monzisuki (Fuchu)
8
Seungrin
9
Tara Ananta
10
Christina
11
Diaz Jamboe
12
E. Kenneth Abraham
13
Eduardus Erlangga
14
E. Vania S. (Vani)
15
Felicia Shane E. (Shane)
16
George Georgie
17
Gisella Austen
18
Glennaldy Quicksilver5
19
I’m Luna-ah
20
Jeanette Violin Christopher
21
Jay (Bung)
22
Lily Katrina Black
23
Yolen
24
Cornelius De Hout Man (Lius)
25
Marycia Janeko (Marci)
26
Maria Claudia
27
Karina Haemin
28
Michael C.F.T.
29
Nathasha
30
Tania Lipzzy
31
Ruth Brigitta Salim
32
Seraphine Clarissa Tamlinson (Ica)
33
Theodore
34
Lacie Claire
35
Timoteus La Foudre
36
Trixie Dominique
37
Kesha Hermione Delacour
38
Victoria Anderson
39
Vinsensius B.S.