Masih part 1, aku singkat
Enjoy and no flames, please?
-Trust-
Suasana di kelas ber-AC itu seperti biasa. Ribut,
berbicara – RALAT – berseru ke sana kemari, berjalan santai di depan kelas,
bermain, dan sebagainya. Tau apa penyebabnya? Tak tau? Serius? Tentu saja
karena tak ada guru yang mengawasi.! Sementara Adiet, sang ketua kelas yang
menyebalkan – begitu pandangan Kesha terhadapnya – masih saja ikut bernyanyi
ria dengan Lacie, Yolen, Claudia, dan Christina. Kesha hanya menggelengkan
kepalanya melihat ketua kelas yang tidak benar ini.
Ia maju ke depan kelas dan mengangkat salah satu
tangannya untuk meminta perhatian dari teman-teman kelasnya, “Temen-temen..!”
Serunya lantang. “Temen-temen 7 C, gue minta perhatian bentar, dong..!” Kesha
berseru dengan suara dalamnya agar tidak terdengar cempreng saat berteriak. Ia
memandang ke seluruh isi kelas berwarna putih-kelabu itu. Mereka masih saja
mengacuhkan gadis dengan tinggi 153 cm itu. “Temen-temen..!” Kesha berseru
sekali lagi, kali ini lebih kencang dan lebih dalam. Tetap tak ada yang
‘mendengar’. Ia memandang Adiet dengan pandangan tak ada harapan. Adiet tetap
saja mengacuhkan kelas yang ribut itu.
Kesha lalu meminta bantuan Wicak, anak yang paling ‘suci’
di kelas itu karena ia merupakan seorang Putra Altar. “Cak, semua ribut. Gak
ada yang mau dengerin gue. Adiet malah sibuk sendiri. Gimana dong?” Kesha
mengentakkan kakinya kesal. Wicak diam sejenak lalu berkata dengan suara
bijaknya yang menyebelkan, “Matiin lampunya. Pasti semua diem.” Kesha berjalan
ke arah belakang meja tinggi (atau meja guru) dan menatap ragu pada Wicak. Sementara
ia melihat seisi kelas yang masih ribut seperti pasar. Dan dengan yakin ia
mematikan lampu kelas. PET..
Benar saja seisi kelas langsung menatap ke arah Kesha
terkejut. Dengan perasaan lega, Ia menyalakan kembali lampunya. “Tuh, makanya..
Respect ama orang.. Temen-temen, please, gue butuh kerja sama kalian. Katanya
7C itu keluarga yang kerja samanya bagus nah, buktiin dong..! Gue dari tadi
teriak dan gak ada yang dengerin bikin gue gak yakin ama kepedulian 7C..” Kesha
memprotes mereka denga cara halus. Ia melanjutkan dan mendelik sebentar pada
Adiet, “Gue gak bilang lu semua gak boleh ngomong, tapi tolong dong.., kalo
ngomong gak usah keras-keras. Kita, kan, The Best Class. Coba, masa’ The Best
Class ribut setengah mati? Ga mungkin, kan? Nah, thanks dan itu Pak Aris udah
dateng.” Kesha berjalan ke arah kursinya di sebelah Charlene.
CKREK…
Pak Aris masuk dan semua anak langsung bungkam mulut.
“Selamat pagi,” sapanya dengan suara ‘seperti biasa’.
Semua murid lansung berdiri. Glenn langsung memukul meja dan itu pertanda bahwa
mereka harus membalas sapaan guru, “Sela – “
Perkataan murid terpoton oleh Pak Aris, “Hey, Glenn. Kamu gak liat apa? Itu
masih ada yang garuk-garuk leher, tuh, Adi masih beresin buku. Ayo ulang..”
Semua berdiri dengan tegap. Beberapa anak memutar bola
matanya malas. Sekali lagi Glenn memukul meja, “Selamat pagi, Pak.!” Seru
murid-murid 7 C.
Pak Aris mengangguk dan langsung mempersilahkan murid-murid duduk.
“Perwalian kali ini ada yang mau saya bicarakan tentang karya wisata ke Yogyakarta
nanti.” Murid-murid lansung tersenyum senang. “Saya akan memberitahukan kalian
apa saja yang harus di bawa. Catat, ya?” Murid-murid kelas 7C tersebut langsung
mengambil agenda dan pensil mereka. “Bawa pakaian bersih secukupnya. Buat 3
hari, itung ajalah. Terus, makanan ringan kalau mau. Buku bacaan boleh, ponsel
juga boleh di bawa – “
Perkataan Pak Aris sedikit terpotong karena beberapa anak
berbisik ria karena diperbolehkan membawa ponsel. Pak Aris kemudian melipat tangannya dan menatap murid-murid
agar mereka diam sejenak, “Michael, udah ngomongnya.. Dilanjutin nanti lagi..”
Beberapa murid menatap Michael yang sekarang menatap Pak Aris dengan pandangan please-deh-bukan-gue-doang-yang-ngomong.
“Gak adil banget, sih,” bisik Michael pada Ica yang duduk di belakangnya. Ica
hanya mengangguk.
“Oke,” ujar Pak Aris,
“Sampai di mana tadi kita?” Michael berbisik pada Lius, “Di kuburan..” Lius dan
Michael terkikik meledek. Pak Aris langsung menatap kedua pemuda yang jago
basket itu, “Udahlah, itu nanti aja.” Kembali Pak Aris berbicara, “Ya, kalian
boleh membawa ponsel. Lalu, besok pakai celana jeans panjang untuk bawahan dan
atasan bebas tapi, harus tetap sopan dan rapih. Untuk yang perempuan, rambut
boleh digerai (anak-anak perempuan ber-high five ria). Ya, paling itu saja yang
ingin saya sampaikan. Ada pertanyaan?”
SET. Tangan Vinsen terancung
ke atas, “Pak, besok boleh bawa kamera, nggak?” Semua anak langsung menatap Vinsen dan berseru
nyaring, “Vinsen, kalau disuruh ke kanan, jangan belok kiri…!!” Vinsen hanya
menatap mereka diam lalu langsung bicara, “Orang gue cuman mau nanya, sih.
Galak amat.” Theo langsung berseru, “Ya gak usah segitunya juga kalo nanya.
Kaya orang idiot, tau gak?” “Hmm.. Hmm,” Angguk Vinsen mengerti.
“Ada lagi pertanyaan untuk 1
menit terakhir?” Tanya Pak Aris. Masing-masing menatap murid lainnya, siapa
tahu ada yang masih ingin bertanya. “Gak ada? Ya, sudah. Persiapkan untuk
besok, jangan ada yang lupa di bawa dan satu lagi sekolah TIDAK bertanggung
jawab atas kehilangan barang. Jadi JAGA baarang dengan baik,” Ujar Pak Aris
dengan menekankan kedua kata penting itu. Beberapa murid mengangguk dan
kemudian merapikan barang-barang lalu berdiri di samping kanan meja mereka.
Setelah yakin semua siap
untuk berdoa, Pak Aris mengangguk dan kemudian memimpin doa. Di tengah-tengah
doa, terdengar bunyi bel tanda sekolah
usai. Meskipun begitu, tak ada satu anggota kelas 7C yang kehilangan
iman mereka ketika berdoa karena suara bel tersebut. Dan mereka pun kembali ke
rumah masing-masing. Beberapa dari mereka masih ada yang memiliki kegiatan sore
seperti basket putri, voli putra, dan pembinaan fisika.
Kesha, Yolen, dan Christina
segera berjalan menuju tempat ruang ganti perempuan. Di dalam, mereka bertemu
dengan Viona dan Indy dari 7A, Marcha dan Mariana dari kelas 7E, Jennifer,
Mareyke, dan Michelle dari kelas 7C, dan Floren dari kelas 7D. “Hai, Kes, Yol,
Bon,” sapa mereka tersenyum. Mereka membalas sapaan teman-temannya dan berganti
baju dengan cepat.
“Eh, Kes,” ujar Christina.
Kesha menengok, “Hm?” Christina menatap Kesha dengan senyumnya yang biasa
digunakan untuk melucu, “Ntar, temenin gue jajan, ya?” Kesha mengerutkan
keningnya, “Ngapain? Lo kira gue babu lu apa?” “Ya, enggak.. Temenin aja..
Oke?” “Gak,” ujar Kesha sambil mendelikan matanya. “Ayo, ah..!”
Mereka bertiga keluar dari
ruang ganti putrid dan duduk di hall untuk makan siang sebelum melanjutkan
kegiatan sore. “Kes, temenin jajanlah,” bujuk Christina pada Kesha yang sudah
mengeluarkan kotak makannya. “Sama Yolenlah dia – “
Perkataan Kesha terpotong oleh Yolen, “Ooo, ora bisa.. Gue mau ke toilet.”
“Tuh, Yolen mau ke toilet. Ayolah..” Raut mukanya dibuat menjadi sememelas
mungkin. Kesha melihat Michelle dan Jennifer yang mau jajan di kantin juga dan
ia dapat ide, “Tuh, ama Icel. Dia juga mau jajan,” ujar Kesha. Christina lalu
mendongakkan kepalanya dan benar, Michelle juga mau jajan. “Bye, Kes,” Ia
langsung meninggalkan Kesha yang sibuk dengan nasi gorengnya.
>Tomorrow morning<
“Hai, Shane,” sama Lacie dengan
suara yang dilagukan seperti biasa. “Hai, Lacie,” balas Shane sambil tersenyum
manis. Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh murid-murid kelas 7
SMP Santa Ursula BSD. Mengapa? Karena mereka akan pergi ke Yogyakarta untuk
menghibur diri setelah ujian melelahkan lewat. Murid-murid akan menginap di
hotel terbagus dan termewah di Yogyakarta, Jawa Tengah. Seperti yang sudah
dikatakan wali kelas masing-masing bahwa anak perempuan boleh menggeraikan
rambutnya, maka sebagian besar anak perempuan menggeraikan rambut dan poni
mereka.
KRING..! Bel masuk sekolah berbunyi. Anak-anak kelas 7C
menyunggingkan senyum sumringah dimana mereka sudah tak sabar untuk pergi ke Yogyakarta.
“Katanya kita nginep di Grand Royal of Yogyakarta, lho..” ujar Aldoker semangat
pada Adi. “Iya, gue juga ga sabar.. Katanya mahal banget, cuy. Pantes aja kita
bayar ampe 1 jutaan,” balas Adi pada Aldoker.
Adiet, sang ketua kelas,
langsung berjalan maju ke depan kelas dan berseru, “Temen-temen, diem sebentar
tolong..!” Tentu saja tak ada yang memperhatikan jika semua murid terlalu
gembira untuk memikirkan apa yang akan mereka lakukan di sana dan lain-lain. “Temen-temen..!”
Adiet berseru lebih dalam. Tetap tak ada yang memperhatikan sang ketua kelas.
Adiet lalu berjalan cepat menuju Kesha dan berkata sekenanya, “Kes, itu kelas
berisik. Gue mau ngomong tapi, gak ada yang dengerin. Bantuin dong?” Kesha
menghela nafasnya dan tersenyum jahil, “Katanya keperayaan teman-teman, kok,
bisa mereka gak ngedengerin elu?” Adiet
mendelik pada Kesha, “Ayolah, wakil..!” “Iya.. Iya..”
Mereka berdua kemudian
berjalan ke depan kelas. Pertama, mereka mengamati suasana kelas yang ramai
bukan main. Paling parah adalah Michael, Theo, Lius, dan Vinsen yang sedang
menyanyikan lagu “Champagne Shower” dari LMFAO. Kedua, mereka melihat Wicak,
George, dan Eduard yang sedang celingukan kesana kemari seperti sedang mencari
sesuatu. Dan akhirnya, Adiet dan Kesha berpandangan satu sama lain dan berseru
dalam, “TEMAN – TEMAN…!!!”
Agaknya, seruan dalam mereka
berhasil karena sebagian besar murid langsung menatap mereka dengan tatapan
terperangah. “Gak punya etika, ya, lo semua..!” Seru Kesha sambil menunjuk
seisi kelas. “Masa gue ato Adiet mesti mati-idup lampu cuman buat kelas
tenang?” Seisi kelas langsung menatap mereka dengan tatapan bersalah. Ada juga
yang menatap mereka dengan pandangan urusan-lo-bukan-urusan-gue.
“Adiet mau ngomong,” ujar Kesha sedikit tenang lalu mulai menambahkan, “Ampe
ada yang motong pembicaraan, ga punya etika lu..”
Tatapan mata langsung
beralih ke Adiet yang sedari tadi hanya tenang dan melipat kedua tangannya di
depan dadanya, “Oke, temen-temen. Nih, bawa semua barang-barang kalian ke Aula.
Jangan ada yang dilupain dan kita akan baris ke Aula untuk briefing – ampe ada yang ngomong selama perjalanan, kasih gue
komisi 10% dari uang jajan lu..” “Woooo….!!!” Seru seisi kelas tak terkecuali
Kesha, Adi, dan Lacie yang merupakan pengurus kelas. “Ayo, jalan..!”
“Dikira kita domba apa?
Disuruh begitu?” ujar Glenn pada Diaz. “Heh, ngomong apa tadi lo?” Tanya Adiet
sambil menunjuk Glenn yang merengut. “Gak ada,” balas anak kurus itu tanpa
memandang Adiet. “Ayo jalan,” Kembali Adiet berseru.
Mereka semua membawa koper kecil, tas tenteng besar yang biasa dipakai untuk
pergi berenang, dan peralatan mereka masing-masing. “Jalan ke Aula, ga ada yang
ngomong. Inget kata gue tadi,” ujar Adietl meyakinkan. Beberapa anak menggumam
tak jelas.
Murid kelas 7Cemangka – itu
nama panggilan untuk kelas 7C – berjalan malas menaiki tangga untuk ke Aula.
“Diet, sumpah,” ujar Aldoker mengeluh, “Masa kita harus bawa segini berat buat
ke Aula? Gimana, sih?” Adiet menatap Aldoker malas, “Ya, mana gue tau. Tanya
ama gurunyalah, orang gue cuman dikasih perintah..” Eduard berbisik jahil pada
Diaz, Jeanette, dan Charlene, “Ka’cung..” Keempat orang itu tertawa
terbahak-bahak karena candaan murid jenius itu. Wajah Charlene mulai memerah
karena tertawa terbahak-bahak. Lalu kemudian beberapa anak mulai ikut tertawa.
Bukan menertawakan candaan Eduard, namun Charlene. Karena wajahnya sudah
mengalahkan kepiting rebus. Jeanette sudah tak bisa berjalan lagi, Ella
wajahnya sudah memerah, Fuchu sudah hampir menangis, George sudah memegangi
perutnya. Semua dikarenakan oleh Charlene.
Namun mereka langsung
berhenti ketika mendapat tatapan inget-perkataan-gue-tadi
dari Adiet. Meskipun sudah berhenti tertawa, beberapa dari mereka yang tertawa
masih saja cekikikan atau menahan tawanya dengan menggigit bibir bawah mereka
seperti Ella dan Charlene. Adiet, Katrina, dan Jay hanya geleng-geleng kepala
soal ini. Dan akhirnya selama 3 menit mereka berjuang untuk mengangkut
dosa-dosa mereka yang terlalu banyak, mereka sampai di Aula dan menaruh dosa
mereka di sana dan mereka diberkati dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus,
Amin. Ok, stop it, Kezia..!
Salah..! Mereka menaruh
barang bawaan mereka di atas panggung kecil yang terdapat di Aula dan langsung
mengambil tempat duduk. Suasana di Aula tak jauh berbeda seperti saat di kelas.
Ribut tak ada ampun. Tempat tersebut sangat penuh oleh murid yang berjalan
kesana kemari, guru-guru yang membawa kertas dan pulpen, dan bahkan karyawan
yang masih saja mengepel sayap Aula. Sebenarnya, ia tak dibutuhkan di saat
seperti ini. Mengapa? Tempat ini penuh dengan orang yang berlalu lalang. Akan
merugikan jika ia sudah mengepel, namun diinjak lagi. Dipel, diinjak lagi. Dan
seperti itu hingga beratus-ratus kali. Atau bisa saja ada yang terpeleset. Yah,
siapa peduli? Author saja tidak peduli apalagi yang lain? Baiklah.
Karena ruangan yang sesak
penuh guru dan murid, Pak Djoko memutuskan untuk menyalakan 4 AC di ruangan
tersebut. Masih dalam suasana ribut Kiiro berbisik protes pada Marci, “Kenapa
gak daritadi aja, sih, dinyalain? Panas..” Marci kelihatannya setuju dengan
Kiiro sehingga ia menjwab, “Iya, aku juga daritadi kepanasan.” Belum sempat
Kiiro menjawab, sang kepala sekolah – Bu Eus – akan mengatakan sepatah dua
patah kata sebelum mereka berangkat ke Yogyakarta.
Tatapan mata anak-anak
memang terlihat meyakinkan untuk menyimak pidato Bu Eus, namun sebenarnya
tidak. Banyak yang muncul di benak mereka saat itu. Seperti Seungrin yang masih
memikirkan orang yang ia suka, Haemin masih sibuk dengan keantusiasannya dalam
acara ke Yogyakarta ini, dan masih banyak lagi. Pemikiran masing-masing berbeda
dan tentu saja tak banyak yang memerhatikan Bu Eus. Anak kelas 7C yang sudah
pasti mendengarkan pidato Bu Eus adalah Jay. Ia memang tahan dalam kondisi
seperti ini. Tak seperti murid lain, Jay mencintai dunia politik. Dimana ia
dapat berdebat dengan baik apabila ia menggunakan ilmu politiknya di depan
orang. Namun, semangatnya yang terlalu berlebihan membuat murid lain agak segan
dengannya. Satu hal yang perlu diperhatikan dari Jay, ia tak pernah membuyarkan
kefokusannya terhadap sesuatu apapun yang terjadi. Dan itu merupakan hal yang
dibanggakan Author dari Jay.
Semua murid terbangun dari
mimpi indah mereka ketika mendengar kata “Terima kasih” dari Bu Eus dan memberikan
tepukan yang meriah seakan mereka mencerna isi pidatonya namun tidak. Senyum
antusias sudah terlihat di wajah masing-masing murid lalu semua itu sedikit –
oke – memudar drastis karena Pak Hari, guru yang mengajarkan Pendidikan
Kewarganegaraan di kelas 7C, berkata bahwa mereka harus membawa kembali
barang-barang yang mereka bawa ke dalam bis yang telah disiapkan. “Aaargghh…!”
Gerutu semua anak marah. Darah mereka sudah mulai naik karena kejadian tak
terduga ini. “Lah, kenapa harus marah? Memang Anda tidak diberitahu?” Tanya Pak
Hari pada mereka. “Nggak..!!!” Seru mereka marah membalas perkataan Pak Hari.
Dan emosi mereka bertambah drastis ketika Pak Hari berkata, “Ya, sudah. Saya
minta maaf. Nanti tidak ada kejadian
seperti ini lagi, ayo, bawa barang-barang kalian..” Dan wajah murid-murid kelas
7 yang seharusnya dihiasi senyum tampan dan cantik mereka sekarang menjadi
hilang karena datang angin badai di atas kepala mereka yang panas itu.
Mereka semua berusaha untuk
membawa barang mereka kembali turun. Banyak murid yang menggerutu sepanjang
perjalanan. “Aarggh..! Plin-plan banget, sih,” gumam Eduard kesal. George
mendecak, “Udahlah, pasrah aja. Paling mereka juga bakal kena akibatnya.”
Eduard hanya mengangguk mendengar perkataan George yang bijak. Wicak terlihat
agak mendelik pada George karena biasanya ia menyarankan saran bijak. Namun,
bagus untuknya karena tak ada yang melihatnya mendelik.
Sesampainya di hall banyak
anak yang langsung duduk selonjoran. “Hosh.. Hosh.. Capek, sumpah. Belum
apa-apa udah mandi gue,” ujar Kenneth.
Diaz mengangguk setuju. Jay, seperti biasa dengan suara wibawanya, berseru agak
marah pada mereka yang duduk selonjoran, “Kiiro, Anda tak pantas duduk
berselonjoran. Kamu ini perempuan. Kamu juga Marci. Aldo, Diaz, dan Kenneth sudahlah,
tak usah banyak menge – “ Perkataan Jay terpotong oleh Lacie, “Jay, udahlah!
Kita semua capek, nggak usah ngurusin orang lain napa?” Dahinya mengerut karena
marah. Jay dengan cepat mendatangi Lacie, “Lacie, saya tidak – “ Sekali lagi
perkataan Jay terpotong, “JAY..!!” Seru hampir sebagian murid 7C karena kesal.
Dan anak berkacamata itu pun langsung bungkam mulut.
Secara satu per satu,
murid-murid kelas 7 diabsen oleh wali kelas dan ketua kelas masing-masing. Dan
ketika yakin semuanya sudah lengkap, para wali kelas segera menuntun anak
didiknya ke bis yang telah disiapkan sekolah di parkiran SD. Sekali lagi banyak
murid yang mengeluh karena harus membawa barang bawaan mereka yang berat. Sekolah
memberikan 5 bis, sesuai 5 kelas 7. Kode yang dipakai merupakan kode dari
kemauan murid-mruid itu sendiri. Kelas 7A memakai kode 7Aces, 7B memakai kode
7Benjo, 7C memakai kode 7Cemangka, 7D memakai kode 7Dreams, dan kelas 7E
memakai kode 7Extraordinarie.
Murid-murid memasukkan
barang bawaan mereka ke dalam bagasi bis tersebut. Beberapa ada yang masih
sempat dorong-mendorong karena ingin buru-buru masuk ke dalam bis dan
mendinginkan kepala yang panas. Secara tak sengaja, Vinsensius mendorong Tara sampai jatuh. Gadis itu meringis
kesakitan, sementara Vinsen sudah masuk ke dalam bis. “Tara, lu ga apa-apa?”
Tanya Tania khawatir akan sahabatnya. “Auu,” ringis Tara kesakitan. “Eh, tangan
lu berdarah, Ra,” ucap Victoria panik. Tara melihat lengannya yang tergores
berdarah ia hanya mendelik pada lukanya. “Gue bilangin Pak Aris, ya?” Tanya
Tania. “Eh, gak.. Gak usah,” Tolak Tara. “Tangan lu udah berdarah, lu mau
infeksi apa?” Tanya Victoria. Tara berpikir sejenak, “Ya udah deh..”
Victoria lalu memberitahu
Pak Aris tentang kecelakaan kecil tadi. Raut wajah Pak Aris yang semula agak
sayu sekarang menjadi terkejut. Ia segera mendatangi Tara lalu menuntunnya naik
ke dalam bis. Pak Aris segera menuntun Tara untuk duduk di kursi depan di
samping Pak Aris. Wali kelas 7Cemangka itu segera meminta P3K dari supir bis
lalu mengobati luka di lengan Tara dengan obat merah. Setelah lengannya
diplester, Pak Aris mempersilahkan Tara kembali ke tempat duduknya bersama
Victoria, Tania, Lun-ah, dan Fuchu.
“Anak-anak dimohon tenang
sebentar,” ujar Pak Aris dengan mikrofon. Karena suara Pak Aris yang membesar
karena mikrofon, murid-murid segera menolehkan kepalanya ke sumber suara. Pak
Aris melihat ke seluruh bis sebelum ia mulai berbicara lagi, “Michael, kamu
ngapain duduk di sandaran kursi? Memalukan, turun! Lius, jangan bersiul lagi.
Nathasha udah selesai berbicara dengan Vani? Karena saya ingin berbicara.”
Siswa dan siswi yang disebutkan oleh Pak Aris segera duduk diam dan
memperhatikan wali kelas mereka.
“Nah, sebelum perjalanan
dimulai, saya mau mengabsen ulang. Jadi, mohon perhatian kalian..” Nathasha
lalu berbisik pada Vani, “Perasaan tadi udah di absen, deh.” Secara tak sengaja
Pak Aris ternyata mendengar perkataan Nathasha, begitu juga dengan murid
lainnya. Murid-murid segera memberikan tatapan diem-lu pada Nathasha. “Kan, saya hanya mengecek ulang, Tasha,”
ujar Pak Aris sambil tersenyum. Nathasha hanya mengangguk,” Iya, Pak..” Murid
lain merasa terganggu dengan Nathasha, “Ssshhh..!!”
Nathasha mengerutkan keningnya, “Gue salah apa, sih?” “Salah banyak..!” Seru
Vinsensius dari belakang. “Vinsensius..!” Tegur teman-temannya. “Gue lagi, kan,
yang salah?” ucapnya pasrah. Nathasha menjulurkan lidahnya pada Vinsensius
sementara Vani menenangkannya agar tidak melunjak, “Udahlah.. Itu Pak Aris udah
mau ngomong.” Nathasha hanya mengangguk.
Pak Aris mengabsen ulang
semua murid-murid 7C agar tidak ada yang tertinggal. Bagus, semua murid
lengkap. “Oh, dan satu lagi,” ujar Pak Aris, “Kalau ada barang yang hilang,
Santa Ursula tidak bertanggung jawab, maka jaga barang dengan baik.”
“Iya, Pak..!” Seru murid-murid 7C kompak, namun malas. Dan mereka memulai
perjalanan.
Dalam perjalanan menuju
Yogyakarta, mereka bersenda gurau. Ada yang bermain Jujur Berani atau biasa
disingkat JuBer. ~Author say: Anggep aja
ini belum dilarang~ Mereka bermain JuBer
dibagi dalam beberapa kelompok karena mungkin mereka merasa lebih nyaman jika
tidak bermain dengan orang yang mereka benci atau orang yang mereka suka.
Michael, Lius, Vinsensius, Ica, Adiet, Trixie, Theo, Seungrin, Diaz, Ruth,
Christina, Yolen, Kesha, Lacie, Jeanette, Charlene, dan Shane berada dalam satu
kelompok yang anggotanya memang paling banyak. Di sisi lain, Fuchu, Lun-ah,
Haemin, Tara, Victoria, dan Tania bermain JuBer juga. Aldoker, Adi, Eduard, Timoteus,
Glenn, dan Kenneth bermain JuBer di siisi lain. Sementara sisa murid-murid
lain yang tidak disebutkan sudah sibuk
sendiri dengan urusan masing-masing, seperti curhat, bersenda gurau, jayus, dan bahkan hanya ada yang berdiam
diri untuk menikmati perjalanan.
Suasana di bis riuh rendah.
Yang paling membuat berisik adalah kelompok bermain JuBer karena setiap orang
yang menjawab Berani dan selesai menjalani tantangan yang diberikan oleh
temannya, sering tertawa terbahak-bahak. Ica bahkan disuruh untuk mencium
jendela selama 8 detik, Trixie disuruh mengatakan ‘I Love You’ pada Aldoker,
Christina disuruh untuk ‘menembak’
Vinsensius, Lius disuruh untuk membuat gombalan
dengan kata ‘Basket’. Yah, memang macam-macam saja permainan anak remaja zaman
sekarang.
“Tadi aku main basket. Waktu
aku masukin ke ring, kok, masuknya ke hati kam, sih?” gombal Lius terpaksa
karena permainan JuBer ini. Anak-anak yang bergabung dalam kelompok itu dengang
semangat berteriak, “CIEEEE…!!! Buat siapa, tuh..?!” Saking berisiknya, Pak
Aris sampai mendatangi kelompok tersebut. “Hey, kalian ingat tidak apa yang
saya katakan sebelum berangkat tadi?” Lalu dengan cepat, suasana di bis
langsung menjadi sunyi. Beberapa anak yang ikut dalam kelompok Seungrin
menunduk bersalah. Dan beberapa lagi menatap Pak Aris dengan pandangan
menantang meskipun wali kelas tersebut tak mengubrisnya.
~Segini dulu....
RT @Queen_Violette buat ide -.-