Part 2
No flames..!
“Jangan berisik saya bilang!
Sudah, balik ke tempat duduk masing-masing..!” Perintah Pak Aris pada
murid-murid asuhannya. Dengan langkah gusar dan malas, mereka semua duduk ke
tempat duduk masing-masing. Kelompok yang memisahkan diri dari Lacie dan
kawan-kawan menatap mampus-lo pada
kawanan itu atau sekadar menatap saja. Namun tak ada satu orang pun yang
melihat Nathasha tersenyum mengejek.
Yah, memang ini sudah menjadi
khas kelas 7C. Sekitar 15 menit mereka terjebak dalam kesunyian yang
membosankan – walaupun masih ada yang berbicara pelan di sana sini – makanan
kecil dibagikan. Pak Aris mengirimkan makanan dari depan dengan cara estafet.
Mereka saling mengoper sebuah kue soes dan sebuah kue mangkuk. Selesai sudah
makanan kecil dibagikan, beberapa ada yang langsung melahap kue tersebut.
Contohnya saja Wicak yang memang dari tadi terlihat lesu dan wajahnya langsung
cerah ketika dibagikann makanan kecil. Adiet, sang ketua kelas yang banyak
makan, segera melahap 2 kue lezat tersebut dengan satu gigitan. Fuchu langsung
membuka kue soes tersebut dan melahapnya.
“Ya, kalian boleh memakan
kue tersebut. Jangan sampai ada yang tercecer. Ya, Michael?” Ujar Pak Aris saat
menangkap Michael sedang asyik berbicara pada Ella. Michael dengan cepat
mengubah posisi duduknya. “Ya, jangan sampai ada yang tercecer. Jaga
kebersihan,” ujar Pak Aris sekali lagi. Beberapa anak hanya mengangguk karena
sudah sibuk dengan kuenya masing-masing.
“Ih, Christina makannya,
kok, kayak gitu, sih?” Tanya Claudia sedikit mendelik pada temannya yang suka
melucu itu. “Wimana Awanya?” balas Christina dengan mulut penuh kue mangkuk.
“Ya, elu telen dulu makanannya,” saran Ruth sambil tersenyum meskipun jijik
juga. Christina mengunyah cepat lalu menelannya, “Gimana apanya, Clau?”
“Makannya! Jorok banget..!” seru Claudia dengan suara medoknya yang khas.
Christina terkekeh, “Maap, ya? Hehehe…” Claudia hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Fuchu, makannya pelan-pelan,”
ujar Lun-ah. “Hm?” Balas Fuchu. “Pelan-pelan makannya,” ulang Lun-ah sekali
lagi. “Sori, Lun. Gue laper banget, sumpah.” Lun-ah hanya mengangguk. “Ntar
tambah gendut, lho,” cerocos Haemin tenang. Fuchu dengan cepat menjawab,
“Nancep, Min.” Haemin hanya menyengir tak bersalah.
“Pantat gue mati rasa, Te,”
ujar Vinsensius tenang pada Theo. PLAK. Theo memukul pundak Vinsensius, “Gue
lagi makan..! Jorok banget, sih, lu..!” Dengan malas dan tenang Vinsensius
menjawab lagi, “Gue lagi, kan, yang salah?” “Waktu lu gak pas, Vin. Makanya
semua salah lu. Ampe gue dapet nilai jelek aja salah lu..!” Vinsensius menatap
Theo tak percaya, “Lho? Kok, gitu?” “Gimana gak elu yang salah kalo lu salah
ngasih info ke gue. Wong disuruh
belajar bab 4 lu ngasih tau bab 6. Gimana, sih?” protes Theo frontal. “Ya,
maap,” ujar Vinsensius acuh tak acuh. “Nilai gue gimana?!” Seru Theo. “Gue udah
minta maaf..!” balas Vinsensius tak kalah rusuh. Lalu dengan peringatan Wicak
yang bijaksana, Putra Altar, panggilan Tuhan (kita juga, sih) mereka berdua
bungkam mulut.
Tiba-tiba bis berhenti
di pom bensin. “Ayo, ada yang mau ke
toilet?” Tanya Pak Aris. “Berhentinya cuman satu kali, lho..” Lalu sebagian
murid langsung meninggalkan bis dan membawa uang Rp 1.000, 00 untuk diberi ke tip.
“Lu gak ke toilet, Rin?” tanya Lacie pada Seungrin. Siswi keturunan Korea
Selatan – sama seperti Haemin – itu menolehkan kepalanya ke Lacie dan
tersenyum, “Ah, enggak. Gue gak buang air kecil sebanyak itu.” Lacie mengangguk
lalu pergi ke toilet bersama Shane yang menggandengnya.
Karena banyak yang ingin
pergi ke toilet, murid yang tidak buang air kecil harus menunggu selama 8 menit
untuk mengumpulkan kembali teman-teman mereka yang sudah lega. “Puas?” Tanya Pak Aris bergurau. Murid-murid mengernyit.
“Puas apanya?” Tanya Haemin. “Udah puas belum buang airnya?” Sengir Pak Aris.
Kesha memutar bola matanya, “Pfft.. Gue kira apa..” Yolen mengangguk, “Tau,
tuh. Ikut campur aja..” Kesha hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli.
Bis pun mulai bergerak lagi.
Mereka sudah sampai di tol memasuki wilayah Yogyakarta. Karena tak ada
kesenangan yang mau dilakukan lagi di dalam bis, murid-murid memutuskan untuk
tidur. Night night.. Mereka semua
sudah memasuki Tanah Mimpi dimana semua menjadi kenyataan. Wicak yang bermimpi
menjadi orang paling bijak dan beriman. Haemin, Seungrin, dan Fuchu yang
memimpikan pujaan hati mereka. Yolen yang memimpikan menjadi laki-laki itu
banyak gunanya. Lius dan Michael yang memimpikan menjadi pemain basket
internasional. Christina, Adiet, dan Adi yang memimpikan Sweet Land dimana semua makanan manis terdapat di sana. Lalu ada
Katrina yang memimpikan bahwa ia merupakan anak penyihir. Kiiro dan Marci, anak
keturunan Jepang –seperti Fuchu dan Lun-ah – yang memimpikan tentang anime dan manga yang sedang mendunia saat ini. Kesha yang memimpikan akan
selalu berusaha menjadi orang yang perfeksionis dan mempunyai kekasih, yaitu
Greyson Chance. Charlene yang memimpikan semua lelaki cakap di dunia bisa
mempunyai hubungan khusus dengan dirinya. Lalu ada Ica yang memimpikan bahwa ia
merupakan seorang bintang penyanyi terkenal dan diperebutkan oleh laki-laki.
Jay juga bermimpi ia menjadi presiden terbaik dan terhebat di Indonesia karena
dapat mengatasi semua masalah. Dan masih banyak lagi. Sangat mengasyikkan ketika
kita tertidur dan kemudian semua menjadi kenyataan, namun –
“Anak-anak, bangun..!” Suara
pria terdengar di mikrofon bis tersebut. Murid-murid kelas 7C masih saja
menggeliat, menolak untuk bangun dari mimpi mereka yang tidak dapat diganggu.
“Anak-anak, kta sudah sampai,” ujar suara itu sekali lagi. Beberapa murid yang
tidak malas, seperti Jay, Wicak, Kiiro, Marci, Nathasha, Vani, Eduardus, dan
lainnya mengerjapkan mata mereka. “Kita sudah sampai,” ujar suara yang ternyata
dimiliki oleh wali kelas mereka sendiri. “Hey..!” Tegur Pak Aris tak sabar
karena masih banyak yang bermimpi. Pak Aris lalu membesarkan volume mikrofon
lalu berkata sebentar pada supir, kondektur, dan murid-murid yang sudah
terbangun, “Tutup telinga kalian sebentar.” Eduard dan Vani saling berpandangan
lalu mengangkat kedua bahunya tak tahu. Mereka segera menutup telinga mereka.
“Anak-anak, bangun..!” Seru Pak Aris pada mikrofon yang telah dibesarkan
volumenya.
Murid-murid terlonjak kaget.
“Whoa..! Anjing gue dicuri!” Seru Michael terkejut. “Anting gue ilang..!” Pekik
Shane tak jelas. “Ulet..!” Seru Kesha asal. “Gue mau jadi cowo..!” Yolen
berseru dengan suara beratnya. Lalu mereka semua menghadap ke arah Yolen dengan
tatapan maksud-lo? Yolen dengan cepat menjawab, “Itu gak
sengaja. Sori.” Michael langsung berbicara, “E-eh, gue juga ga sengaja tadi..”
“Gue juga, maaf,” ujar Shane. Wajahnya memerah malu. “Umm, gue juga,” ujar
Kesha. Pak Aris menggelengkan kepalanya, “Nah, kita sudah sampai. Ayo, segera
periksa barang bawaan kalian dan jangan sampai ada yang tertinggal di dalam
bis. Kalau sudah, kita turun.” Semua murid segera berdiri dan memeriksa tas
ransel atau tas selempang mereka yang dipakai untuk membawa peralatan teknologi
dan semacamnya. Setelah yakin, tak ada yang tertinggal, mereka mengucapkan
terima kasih pada kondektur dan supir bis. Satu per satu mereka turun dan tetap
tak ada yang mengetahui ketika Nathasha menatap supir bis dengan tatapan aneh.
Bola matanya menghilang dan yang ada hanyalah bagian putihnya. Sementara itu sang
supir malah membalasnya santai karena ia juga memiliki ‘kemampuan’ seperti itu.
“Wuoh, Grand Royal of
Yogyakarta..!” Seru Adi. “Woy, kampungan..!” Seru Kenneth pada Adi. Jay dengan
cepat memprotes, “Kenneth, Adi berhak untuk mengagumi tempat yang indah ini.
Kau-“ “Iya, Jay,” angguk Kenneth,
mencoba menjauhi diri dari ceramahan Jay yang menyebalkan. Jay sebenarnya
benar. Adi dan yang lainnya pantas untuk mengaggumi tempat indah bernama Grand
Royal of Yogyakarta itu. Bangunan megah pentagon berwarna cream dengan air mancur berpatung batu keramik. Air mancur tersebut
seakan-akan menari sesuai irama lampu warna warni yang dinyalakan di bawah air
tersebut. Ukiran berwarna emas yang bertuliskan ‘Grand Royal of Yogyakarta’ itu berkerlap-kerlip di bawah jingganya
langit barat.
Saat mereka masuk, keadaan
sungguh di luar dugaan mereka. Hotel yang mewah dan pantas dibintangi enam,
jika mereka yang menilai, itu memiliki lobi yang benar-benar mewah.
Langit-langit tinggi berporselen dihiasi dengan lampu Kristal yang indah.
Lantai keramik yang diukir melingkar-lingkar berwarna cokelat sangat indah.
Terlebih lagi, terdapat tangga berputar menuju lantai Upper Ground. Tangga tersebut benar-benar elegan. Dilapisi dengan
karpet hitam di tengahnya lalu ukiran-ukiran melingkar di pegangannya membuat
murid-murid kelas 7 tak dapat menguasai ke-jaim-an
mereka. Bagi yang tidak ingin capek jika menaiki tangga dengan barang berat,
mereka dapat menaiki eskelator yang terdapat di sebelah kanan lobi atau lift di belakang tempat pendaftaran.
Semua murid memiliki hak
untuk terperangah pada keindahan dan kemewahan hotel tersebut. Memang pantas
dinamai ’Grand Royal’. Wali kelas
menyuruh mereka untuk duduk di sofa-sofa banyak yang dapat memuat 7 orang di
sana. Bantak yang empuk, kursi yang nyaman dan warna-warna merah, cokelat, dan cream membuat hasrat siswa siswi kelas 7
terbangkitkan untuk duduk di sana. Beberapa murid yang tidak mendapatkan sofa,
para pelayan dengan senang hati meminjamkan kursi empuk, walau tak seempuk
sofanya, dari ruang belakang. Dengan begitu, tak ada perkelahian di antara
mereka semua.
Lalu mereka dikumpulkan per
kelas untuk dibacakan teman sekamar mereka. Anak-anak perempuan akan mendapatkan
Suite Presidential karena di dalam mereka akan terdapat 5 orang
atau lebih, sementara yang laki-laki akan mendapatkan kamar Superior, kecuali beberapa yang terdapat
muridnya lebih dari 4. Lalu dibacakanlah teman sekamar mereka oleh wali kelas,
“Kamar 70 isinya Aldoker, Adi, Eduard, Diaz, dan Wicak. Kamar 71 isinya George,
Kenneth, Timoteus, Glenn, Adiet, dan Jay. Kamar 72 isinya Yolen, Kesha,
Seungrin, Jeanette, dan Tania. Kamar 73 isinya Haemin, Fuchu, Lun-ah, Victoria,
dan Tara. Kamar 74 isinya Lius, Michael, Theo, dan Vinsensius. Kamar 75 isinya
Seraphine, Ruth, Christina, Claudia, dan Lacie. Kamar 76 isinya Shane, Katrina,
Vani, Ella, dan Trixie. Kamar 77 isinya Charlene, Nathasha, Marci, dan Kiiro.
Semua kamar ini ada di lantai 7. Jangan lupa jam delapan nanti kumpul di Ballroom. Nah, ayo berangkat..!” Seru
Pak Aris sambil membagikan kunci masing-masing kamar.
Dengan
segera, mereka menaiki lift dan
menuju lantai 7. Lift tersebut dapat
memuat maksimal 20 orang. Tetap dengan kemewahan yang tertera dalam lift
tersebut. Kamera pengawas juga terpasang di sudut kanan atas jika terdapat
kesalahan atau kecelakaan. Lalu secara lega dan senang mereka mengucapkan
selamat bersenang-senang satu sama lain, “Bye, see you jam delapan di Ballroom, ya?” Dan mereka dengan letih
namun juga senang berjalan sambil membawa barang bawaan mereka ke kamar
masing-masing.
Koridor
di hotel tersebut dilapiskan karpet merah dan sangat sunyi. Lalu mereka ingat
akan perkataan Pak Aris minggu lalu bahwa hotel tersebut sudah dipesan khusus
untuk murid Santa Ursula dan tidak akan ada orang yang mengganggu mereka.
Pemesanan hotel untuk ketiga hari ini ditutup. Kelas 7A memakai lantai 5, kelas
7B memakai lantai 6, kelas 7C memakai lantai 7, kelas 7D memakai lantai 8, dan
kelas 7E memakai lantai 9. “Ngeri juga kalo sepi begini, ya?” tanya Seungrin
meminta persetujuan. “Iya, hati-hati di belakang, ya, Rin?” ceplos Nathasha
mencurigakan. Seungrin hanya mendelik pada Nathasha.
Suasana
di hotel itu cukup mencengkam. Hotel berbintang lima itu terasa sangat
menyeramkan jika yang menempati hanya murid-murid Sanur, 5 wali kelas, dan
beberapa kelompok pelayan yang bekerja di sana.
Dingin.
Itulah yang dirasakan murid-murid kelas 7C ketika membuka pintu kamar tersebut.
Mereka masih saja tidak perduli dengan hal itu. ‘Paling suhu AC-nya gue turunin
biar gak sedingin ini,’ batin Ica meskipun ia juga tetap gugup. Ya, kamar
tersebut memang sangat bagus. Ruangan yang besar. Begitu masuk, murid-murid
perempuan terperangah takjub karena saat masuk langsung terdapat sofa panjang
yang dapat diubah menjadi tempat tidur. Bantal-bantal yang empuk, selimut yang
hangat, dan special langsung menghadap ke televisi LCD yang ditempel di dinding
depan sofa tersebut. Di samping sofa tersebut, terdapat meja makan dengan kayu
terbaik dan cermin dengan ukiran Jawa yang indah. Mereka berbelok ke kiri dan
ditemukan kamar mandi dengan Jacuzzi kayu terbaik. Cukup luas dan nyaman.
Seungrin,
Kesha, Yolen, Jeanette, dan Tania segera mengubah sofa tersebut menjadi tempat
tidur. Mereka lalu merebahkan diri dan menyalakan televisi. “Kita mau nonton
apa, nih?” Tanya Jeanette. “Film aja. Paling HBO,” balas Yolen cuek. Jeanette
segera mengatur saluran televisi dan ternyata HBO sedang memutarkan film Harry Potter and The Deathly Hallows
bagian pertama. “Oh, HP…” ujar Tania. “Kes, katanya lu suka HP, kok, gak ada
respon?” Tanya Seungrin. “Gak, gue gak suka HarPot. Gue suka Draco Malfoy,
kok..” Kesha terkekeh pelan. “Yeah.. Yeah..” ujar mereka minus Kesha sarkastis.
Mereka
berlima menonton flim tersebut dengan perasaan biasa saja karena sudah pernah
melihat film tersebut. Namun yang membuat mereka ribut adalah Kesha. Karena
setiap kali terdapat adegan Draco Malfoy, ia pasti langsung berteriak-teriak
tak jelas meskipun hanya sebentar. Film tersebut lalu selesai sekitar jam 7
malam.
“Udah, yuk?” ajak Seungrin. “Siapa yang mau mandi duluan?” Tanya Tania. “Biar adil pake nomor absen aja,” usul Jeanette. “Jeh, berarti gue paling akhir, dong?” tanya Kesha tak percaya. “DL,” ucap Tania acuh tak acuh. Kesha hanya mendelik sebal.
“Udah, yuk?” ajak Seungrin. “Siapa yang mau mandi duluan?” Tanya Tania. “Biar adil pake nomor absen aja,” usul Jeanette. “Jeh, berarti gue paling akhir, dong?” tanya Kesha tak percaya. “DL,” ucap Tania acuh tak acuh. Kesha hanya mendelik sebal.
Akhirnya
semua sudah selesai mandi dan berpakaian. Baju yang mereka pakai merupakan gaun
pintar yang elegan. Mereka menata rambut dan dandanan mereka dengan simple,
namun menawan. Ya, gorgeous. “Udah?”
Tanya Seungrin. Yang lain mengangguk. “Yuk,” ujar Tania sambil membuka pintu.
Michael dan kawan-kawan ternyata keluar pada saat yang bersamaan.
“Hai..!”
Seru Michael, Vinsensius, Theo, dan Lius hampir bersamaan. “Hai, juga..!” Balas
kelima perempuan itu ceria. “Bareng, yuk?” ajak Vinsensius. Tania mengangguk.
Mereka berjalan menuju lift dan turun
5 lantai ke lantai 2. Dan saat itulah Yolen mulai menggerutu panjang tentang
acara ini.
“Kenapa,
sih, harus pake gaun dan make-up yang
ribet ini?” geramnya saat berada di dalam lift.
“Pakaian formal, kan, bisa pake celana kain ama kemeja.”
Anak laki-laki terkekeh pelan. “Elu tomboy, sih, Yol..” ujar Cornelius. “So what?” Yolen mendelik pada Lius. “Pake gaun bentar gak apa-apalah. Kan, lumayan kalo misalnya ada yang mau nembak elu,” sengir Michael. “Wuoh….” Seru anak-anak perempuan minus Yoleen. “Mike, berencana nembak Yolen, ya?” Senyum jahil tertera jelas di wajah Jeanette. Michael mengangkat salah satu alisnya, “Maksud lo?” Yolen sudah akan memukul Jeanette ketika pintu lift terbuka di lantai 2.
Anak laki-laki terkekeh pelan. “Elu tomboy, sih, Yol..” ujar Cornelius. “So what?” Yolen mendelik pada Lius. “Pake gaun bentar gak apa-apalah. Kan, lumayan kalo misalnya ada yang mau nembak elu,” sengir Michael. “Wuoh….” Seru anak-anak perempuan minus Yoleen. “Mike, berencana nembak Yolen, ya?” Senyum jahil tertera jelas di wajah Jeanette. Michael mengangkat salah satu alisnya, “Maksud lo?” Yolen sudah akan memukul Jeanette ketika pintu lift terbuka di lantai 2.
~RT @Queen_Violette
~ Next part....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar