Sabtu, 31 Maret 2012

Trust and Faith (Part 2)


Part 2
No flames..!


“Jangan berisik saya bilang! Sudah, balik ke tempat duduk masing-masing..!” Perintah Pak Aris pada murid-murid asuhannya. Dengan langkah gusar dan malas, mereka semua duduk ke tempat duduk masing-masing. Kelompok yang memisahkan diri dari Lacie dan kawan-kawan menatap mampus-lo pada kawanan itu atau sekadar menatap saja. Namun tak ada satu orang pun yang melihat Nathasha tersenyum mengejek.
Yah, memang ini sudah menjadi khas kelas 7C. Sekitar 15 menit mereka terjebak dalam kesunyian yang membosankan – walaupun masih ada yang berbicara pelan di sana sini – makanan kecil dibagikan. Pak Aris mengirimkan makanan dari depan dengan cara estafet. Mereka saling mengoper sebuah kue soes dan sebuah kue mangkuk. Selesai sudah makanan kecil dibagikan, beberapa ada yang langsung melahap kue tersebut. Contohnya saja Wicak yang memang dari tadi terlihat lesu dan wajahnya langsung cerah ketika dibagikann makanan kecil. Adiet, sang ketua kelas yang banyak makan, segera melahap 2 kue lezat tersebut dengan satu gigitan. Fuchu langsung membuka kue soes tersebut dan melahapnya.
“Ya, kalian boleh memakan kue tersebut. Jangan sampai ada yang tercecer. Ya, Michael?” Ujar Pak Aris saat menangkap Michael sedang asyik berbicara pada Ella. Michael dengan cepat mengubah posisi duduknya. “Ya, jangan sampai ada yang tercecer. Jaga kebersihan,” ujar Pak Aris sekali lagi. Beberapa anak hanya mengangguk karena sudah sibuk dengan kuenya masing-masing.
“Ih, Christina makannya, kok, kayak gitu, sih?” Tanya Claudia sedikit mendelik pada temannya yang suka melucu itu. “Wimana Awanya?” balas Christina dengan mulut penuh kue mangkuk. “Ya, elu telen dulu makanannya,” saran Ruth sambil tersenyum meskipun jijik juga. Christina mengunyah cepat lalu menelannya, “Gimana apanya, Clau?” “Makannya! Jorok banget..!” seru Claudia dengan suara medoknya yang khas. Christina terkekeh, “Maap, ya? Hehehe…” Claudia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Fuchu, makannya pelan-pelan,” ujar Lun-ah. “Hm?” Balas Fuchu. “Pelan-pelan makannya,” ulang Lun-ah sekali lagi. “Sori, Lun. Gue laper banget, sumpah.” Lun-ah hanya mengangguk. “Ntar tambah gendut, lho,” cerocos Haemin tenang. Fuchu dengan cepat menjawab, “Nancep, Min.” Haemin hanya menyengir tak bersalah.
“Pantat gue mati rasa, Te,” ujar Vinsensius tenang pada Theo. PLAK. Theo memukul pundak Vinsensius, “Gue lagi makan..! Jorok banget, sih, lu..!” Dengan malas dan tenang Vinsensius menjawab lagi, “Gue lagi, kan, yang salah?” “Waktu lu gak pas, Vin. Makanya semua salah lu. Ampe gue dapet nilai jelek aja salah lu..!” Vinsensius menatap Theo tak percaya, “Lho? Kok, gitu?” “Gimana gak elu yang salah kalo lu salah ngasih info ke gue. Wong disuruh belajar bab 4 lu ngasih tau bab 6. Gimana, sih?” protes Theo frontal. “Ya, maap,” ujar Vinsensius acuh tak acuh. “Nilai gue gimana?!” Seru Theo. “Gue udah minta maaf..!” balas Vinsensius tak kalah rusuh. Lalu dengan peringatan Wicak yang bijaksana, Putra Altar, panggilan Tuhan (kita juga, sih) mereka berdua bungkam mulut.
Tiba-tiba bis berhenti di  pom bensin. “Ayo, ada yang mau ke toilet?” Tanya Pak Aris. “Berhentinya cuman satu kali, lho..” Lalu sebagian murid langsung meninggalkan bis dan membawa uang Rp 1.000, 00 untuk diberi ke tip. “Lu gak ke toilet, Rin?” tanya Lacie pada Seungrin. Siswi keturunan Korea Selatan – sama seperti Haemin – itu menolehkan kepalanya ke Lacie dan tersenyum, “Ah, enggak. Gue gak buang air kecil sebanyak itu.” Lacie mengangguk lalu pergi ke toilet bersama Shane yang menggandengnya.
Karena banyak yang ingin pergi ke toilet, murid yang tidak buang air kecil harus menunggu selama 8 menit untuk mengumpulkan kembali teman-teman mereka yang sudah lega. “Puas?” Tanya Pak Aris bergurau. Murid-murid mengernyit. “Puas apanya?” Tanya Haemin. “Udah puas belum buang airnya?” Sengir Pak Aris. Kesha memutar bola matanya, “Pfft.. Gue kira apa..” Yolen mengangguk, “Tau, tuh. Ikut campur aja..” Kesha hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli.
Bis pun mulai bergerak lagi. Mereka sudah sampai di tol memasuki wilayah Yogyakarta. Karena tak ada kesenangan yang mau dilakukan lagi di dalam bis, murid-murid memutuskan untuk tidur. Night night.. Mereka semua sudah memasuki Tanah Mimpi dimana semua menjadi kenyataan. Wicak yang bermimpi menjadi orang paling bijak dan beriman. Haemin, Seungrin, dan Fuchu yang memimpikan pujaan hati mereka. Yolen yang memimpikan menjadi laki-laki itu banyak gunanya. Lius dan Michael yang memimpikan menjadi pemain basket internasional. Christina, Adiet, dan Adi yang memimpikan Sweet Land dimana semua makanan manis terdapat di sana. Lalu ada Katrina yang memimpikan bahwa ia merupakan anak penyihir. Kiiro dan Marci, anak keturunan Jepang –seperti Fuchu dan Lun-ah – yang memimpikan tentang anime dan manga yang sedang mendunia saat ini. Kesha yang memimpikan akan selalu berusaha menjadi orang yang perfeksionis dan mempunyai kekasih, yaitu Greyson Chance. Charlene yang memimpikan semua lelaki cakap di dunia bisa mempunyai hubungan khusus dengan dirinya. Lalu ada Ica yang memimpikan bahwa ia merupakan seorang bintang penyanyi terkenal dan diperebutkan oleh laki-laki. Jay juga bermimpi ia menjadi presiden terbaik dan terhebat di Indonesia karena dapat mengatasi semua masalah. Dan masih banyak lagi. Sangat mengasyikkan ketika kita tertidur dan kemudian semua menjadi kenyataan, namun –
“Anak-anak, bangun..!” Suara pria terdengar di mikrofon bis tersebut. Murid-murid kelas 7C masih saja menggeliat, menolak untuk bangun dari mimpi mereka yang tidak dapat diganggu. “Anak-anak, kta sudah sampai,” ujar suara itu sekali lagi. Beberapa murid yang tidak malas, seperti Jay, Wicak, Kiiro, Marci, Nathasha, Vani, Eduardus, dan lainnya mengerjapkan mata mereka. “Kita sudah sampai,” ujar suara yang ternyata dimiliki oleh wali kelas mereka sendiri. “Hey..!” Tegur Pak Aris tak sabar karena masih banyak yang bermimpi. Pak Aris lalu membesarkan volume mikrofon lalu berkata sebentar pada supir, kondektur, dan murid-murid yang sudah terbangun, “Tutup telinga kalian sebentar.” Eduard dan Vani saling berpandangan lalu mengangkat kedua bahunya tak tahu. Mereka segera menutup telinga mereka. “Anak-anak, bangun..!” Seru Pak Aris pada mikrofon yang telah dibesarkan volumenya.
Murid-murid terlonjak kaget. “Whoa..! Anjing gue dicuri!” Seru Michael terkejut. “Anting gue ilang..!” Pekik Shane tak jelas. “Ulet..!” Seru Kesha asal. “Gue mau jadi cowo..!” Yolen berseru dengan suara beratnya. Lalu mereka semua menghadap ke arah Yolen dengan tatapan maksud-lo?  Yolen dengan cepat menjawab, “Itu gak sengaja. Sori.” Michael langsung berbicara, “E-eh, gue juga ga sengaja tadi..” “Gue juga, maaf,” ujar Shane. Wajahnya memerah malu. “Umm, gue juga,” ujar Kesha. Pak Aris menggelengkan kepalanya, “Nah, kita sudah sampai. Ayo, segera periksa barang bawaan kalian dan jangan sampai ada yang tertinggal di dalam bis. Kalau sudah, kita turun.” Semua murid segera berdiri dan memeriksa tas ransel atau tas selempang mereka yang dipakai untuk membawa peralatan teknologi dan semacamnya. Setelah yakin, tak ada yang tertinggal, mereka mengucapkan terima kasih pada kondektur dan supir bis. Satu per satu mereka turun dan tetap tak ada yang mengetahui ketika Nathasha menatap supir bis dengan tatapan aneh. Bola matanya menghilang dan yang ada hanyalah bagian putihnya. Sementara itu sang supir malah membalasnya santai karena ia juga memiliki ‘kemampuan’ seperti itu.
“Wuoh, Grand Royal of Yogyakarta..!” Seru Adi. “Woy, kampungan..!” Seru Kenneth pada Adi. Jay dengan cepat memprotes, “Kenneth, Adi berhak untuk mengagumi tempat yang indah ini. Kau-“  “Iya, Jay,” angguk Kenneth, mencoba menjauhi diri dari ceramahan Jay yang menyebalkan. Jay sebenarnya benar. Adi dan yang lainnya pantas untuk mengaggumi tempat indah bernama Grand Royal of Yogyakarta itu. Bangunan megah pentagon berwarna cream dengan air mancur berpatung batu keramik. Air mancur tersebut seakan-akan menari sesuai irama lampu warna warni yang dinyalakan di bawah air tersebut. Ukiran berwarna emas yang bertuliskan ‘Grand Royal of Yogyakarta’ itu berkerlap-kerlip di bawah jingganya langit barat.
Saat mereka masuk, keadaan sungguh di luar dugaan mereka. Hotel yang mewah dan pantas dibintangi enam, jika mereka yang menilai, itu memiliki lobi yang benar-benar mewah. Langit-langit tinggi berporselen dihiasi dengan lampu Kristal yang indah. Lantai keramik yang diukir melingkar-lingkar berwarna cokelat sangat indah. Terlebih lagi, terdapat tangga berputar menuju lantai Upper Ground. Tangga tersebut benar-benar elegan. Dilapisi dengan karpet hitam di tengahnya lalu ukiran-ukiran melingkar di pegangannya membuat murid-murid kelas 7 tak dapat menguasai ke-jaim­-an mereka. Bagi yang tidak ingin capek jika menaiki tangga dengan barang berat, mereka dapat menaiki eskelator yang terdapat di sebelah kanan lobi atau lift di belakang tempat pendaftaran.
Semua murid memiliki hak untuk terperangah pada keindahan dan kemewahan hotel tersebut. Memang pantas dinamai ’Grand Royal’. Wali kelas menyuruh mereka untuk duduk di sofa-sofa banyak yang dapat memuat 7 orang di sana. Bantak yang empuk, kursi yang nyaman dan warna-warna merah, cokelat, dan cream membuat hasrat siswa siswi kelas 7 terbangkitkan untuk duduk di sana. Beberapa murid yang tidak mendapatkan sofa, para pelayan dengan senang hati meminjamkan kursi empuk, walau tak seempuk sofanya, dari ruang belakang. Dengan begitu, tak ada perkelahian di antara mereka semua.
Lalu mereka dikumpulkan per kelas untuk dibacakan teman sekamar mereka. Anak-anak perempuan akan mendapatkan Suite Presidential  karena di dalam mereka akan terdapat 5 orang atau lebih, sementara yang laki-laki akan mendapatkan kamar Superior, kecuali beberapa yang terdapat muridnya lebih dari 4. Lalu dibacakanlah teman sekamar mereka oleh wali kelas, “Kamar 70 isinya Aldoker, Adi, Eduard, Diaz, dan Wicak. Kamar 71 isinya George, Kenneth, Timoteus, Glenn, Adiet, dan Jay. Kamar 72 isinya Yolen, Kesha, Seungrin, Jeanette, dan Tania. Kamar 73 isinya Haemin, Fuchu, Lun-ah, Victoria, dan Tara. Kamar 74 isinya Lius, Michael, Theo, dan Vinsensius. Kamar 75 isinya Seraphine, Ruth, Christina, Claudia, dan Lacie. Kamar 76 isinya Shane, Katrina, Vani, Ella, dan Trixie. Kamar 77 isinya Charlene, Nathasha, Marci, dan Kiiro. Semua kamar ini ada di lantai 7. Jangan lupa jam delapan nanti kumpul di Ballroom. Nah, ayo berangkat..!” Seru Pak Aris sambil membagikan kunci masing-masing kamar.
Dengan segera, mereka menaiki lift dan menuju lantai 7. Lift tersebut dapat memuat maksimal 20 orang. Tetap dengan kemewahan yang tertera dalam lift tersebut. Kamera pengawas juga terpasang di sudut kanan atas jika terdapat kesalahan atau kecelakaan. Lalu secara lega dan senang mereka mengucapkan selamat bersenang-senang satu sama lain, “Bye, see you jam delapan di Ballroom, ya?” Dan mereka dengan letih namun juga senang berjalan sambil membawa barang bawaan mereka ke kamar masing-masing.
Koridor di hotel tersebut dilapiskan karpet merah dan sangat sunyi. Lalu mereka ingat akan perkataan Pak Aris minggu lalu bahwa hotel tersebut sudah dipesan khusus untuk murid Santa Ursula dan tidak akan ada orang yang mengganggu mereka. Pemesanan hotel untuk ketiga hari ini ditutup. Kelas 7A memakai lantai 5, kelas 7B memakai lantai 6, kelas 7C memakai lantai 7, kelas 7D memakai lantai 8, dan kelas 7E memakai lantai 9. “Ngeri juga kalo sepi begini, ya?” tanya Seungrin meminta persetujuan. “Iya, hati-hati di belakang, ya, Rin?” ceplos Nathasha mencurigakan. Seungrin hanya mendelik pada Nathasha.
Suasana di hotel itu cukup mencengkam. Hotel berbintang lima itu terasa sangat menyeramkan jika yang menempati hanya murid-murid Sanur, 5 wali kelas, dan beberapa kelompok pelayan yang bekerja di sana.
Dingin. Itulah yang dirasakan murid-murid kelas 7C ketika membuka pintu kamar tersebut. Mereka masih saja tidak perduli dengan hal itu. ‘Paling suhu AC-nya gue turunin biar gak sedingin ini,’ batin Ica meskipun ia juga tetap gugup. Ya, kamar tersebut memang sangat bagus. Ruangan yang besar. Begitu masuk, murid-murid perempuan terperangah takjub karena saat masuk langsung terdapat sofa panjang yang dapat diubah menjadi tempat tidur. Bantal-bantal yang empuk, selimut yang hangat, dan special langsung menghadap ke televisi LCD yang ditempel di dinding depan sofa tersebut. Di samping sofa tersebut, terdapat meja makan dengan kayu terbaik dan cermin dengan ukiran Jawa yang indah. Mereka berbelok ke kiri dan ditemukan kamar mandi dengan Jacuzzi kayu terbaik. Cukup luas dan nyaman.
Seungrin, Kesha, Yolen, Jeanette, dan Tania segera mengubah sofa tersebut menjadi tempat tidur. Mereka lalu merebahkan diri dan menyalakan televisi. “Kita mau nonton apa, nih?” Tanya Jeanette. “Film aja. Paling HBO,” balas Yolen cuek. Jeanette segera mengatur saluran televisi dan ternyata HBO sedang memutarkan film Harry Potter and The Deathly Hallows bagian pertama. “Oh, HP…” ujar Tania. “Kes, katanya lu suka HP, kok, gak ada respon?” Tanya Seungrin. “Gak, gue gak suka HarPot. Gue suka Draco Malfoy, kok..” Kesha terkekeh pelan. “Yeah.. Yeah..” ujar mereka minus Kesha sarkastis.
Mereka berlima menonton flim tersebut dengan perasaan biasa saja karena sudah pernah melihat film tersebut. Namun yang membuat mereka ribut adalah Kesha. Karena setiap kali terdapat adegan Draco Malfoy, ia pasti langsung berteriak-teriak tak jelas meskipun hanya sebentar. Film tersebut lalu selesai sekitar jam 7 malam.
“Udah, yuk?” ajak Seungrin. “Siapa yang mau mandi duluan?” Tanya Tania. “Biar adil pake nomor absen aja,” usul Jeanette. “Jeh, berarti gue paling akhir, dong?” tanya Kesha tak percaya. “DL,” ucap Tania acuh tak acuh. Kesha hanya mendelik sebal.
Akhirnya semua sudah selesai mandi dan berpakaian. Baju yang mereka pakai merupakan gaun pintar yang elegan. Mereka menata rambut dan dandanan mereka dengan simple, namun menawan. Ya, gorgeous. “Udah?” Tanya Seungrin. Yang lain mengangguk. “Yuk,” ujar Tania sambil membuka pintu. Michael dan kawan-kawan ternyata keluar pada saat yang bersamaan.
“Hai..!” Seru Michael, Vinsensius, Theo, dan Lius hampir bersamaan. “Hai, juga..!” Balas kelima perempuan itu ceria. “Bareng, yuk?” ajak Vinsensius. Tania mengangguk. Mereka berjalan menuju lift dan turun 5 lantai ke lantai 2. Dan saat itulah Yolen mulai menggerutu panjang tentang acara ini.
“Kenapa, sih, harus pake gaun dan make-up yang ribet ini?” geramnya saat berada di dalam lift. “Pakaian formal, kan, bisa pake celana kain ama kemeja.”
Anak laki-laki terkekeh pelan. “Elu tomboy, sih, Yol..” ujar Cornelius. “So what?” Yolen mendelik pada Lius. “Pake gaun bentar gak apa-apalah. Kan, lumayan kalo misalnya ada yang mau nembak elu,” sengir Michael. “Wuoh….” Seru anak-anak perempuan minus Yoleen. “Mike, berencana nembak Yolen, ya?” Senyum jahil tertera jelas di wajah Jeanette. Michael mengangkat salah satu alisnya, “Maksud lo?” Yolen sudah akan memukul Jeanette ketika pintu lift terbuka di lantai 2.


~RT @Queen_Violette
~ Next part....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar