Sabtu, 31 Maret 2012

Trust and Faith (Part 1)


Masih part 1, aku singkat
Enjoy and no flames, please?                                                      


-Trust-
Suasana di kelas ber-AC itu seperti biasa. Ribut, berbicara – RALAT – berseru ke sana kemari, berjalan santai di depan kelas, bermain, dan sebagainya. Tau apa penyebabnya? Tak tau? Serius? Tentu saja karena tak ada guru yang mengawasi.! Sementara Adiet, sang ketua kelas yang menyebalkan – begitu pandangan Kesha terhadapnya – masih saja ikut bernyanyi ria dengan Lacie, Yolen, Claudia, dan Christina. Kesha hanya menggelengkan kepalanya melihat ketua kelas yang tidak benar ini.
Ia maju ke depan kelas dan mengangkat salah satu tangannya untuk meminta perhatian dari teman-teman kelasnya, “Temen-temen..!” Serunya lantang. “Temen-temen 7 C, gue minta perhatian bentar, dong..!” Kesha berseru dengan suara dalamnya agar tidak terdengar cempreng saat berteriak. Ia memandang ke seluruh isi kelas berwarna putih-kelabu itu. Mereka masih saja mengacuhkan gadis dengan tinggi 153 cm itu. “Temen-temen..!” Kesha berseru sekali lagi, kali ini lebih kencang dan lebih dalam. Tetap tak ada yang ‘mendengar’. Ia memandang Adiet dengan pandangan tak ada harapan. Adiet tetap saja mengacuhkan kelas yang ribut itu.
Kesha lalu meminta bantuan Wicak, anak yang paling ‘suci’ di kelas itu karena ia merupakan seorang Putra Altar. “Cak, semua ribut. Gak ada yang mau dengerin gue. Adiet malah sibuk sendiri. Gimana dong?” Kesha mengentakkan kakinya kesal. Wicak diam sejenak lalu berkata dengan suara bijaknya yang menyebelkan, “Matiin lampunya. Pasti semua diem.” Kesha berjalan ke arah belakang meja tinggi (atau meja guru) dan menatap ragu pada Wicak. Sementara ia melihat seisi kelas yang masih ribut seperti pasar. Dan dengan yakin ia mematikan lampu kelas. PET..
Benar saja seisi kelas langsung menatap ke arah Kesha terkejut. Dengan perasaan lega, Ia menyalakan kembali lampunya. “Tuh, makanya.. Respect ama orang.. Temen-temen, please, gue butuh kerja sama kalian. Katanya 7C itu keluarga yang kerja samanya bagus nah, buktiin dong..! Gue dari tadi teriak dan gak ada yang dengerin bikin gue gak yakin ama kepedulian 7C..” Kesha memprotes mereka denga cara halus. Ia melanjutkan dan mendelik sebentar pada Adiet, “Gue gak bilang lu semua gak boleh ngomong, tapi tolong dong.., kalo ngomong gak usah keras-keras. Kita, kan, The Best Class. Coba, masa’ The Best Class ribut setengah mati? Ga mungkin, kan? Nah, thanks dan itu Pak Aris udah dateng.” Kesha berjalan ke arah kursinya di sebelah Charlene.
CKREK…
Pak Aris masuk dan semua anak langsung bungkam mulut.
“Selamat pagi,” sapanya dengan suara ‘seperti biasa’.
Semua murid lansung berdiri. Glenn langsung memukul meja dan itu pertanda bahwa mereka harus membalas sapaan guru, “Sela – “
Perkataan murid terpoton oleh Pak Aris, “Hey, Glenn. Kamu gak liat apa? Itu masih ada yang garuk-garuk leher, tuh, Adi masih beresin buku. Ayo ulang..”
Semua berdiri dengan tegap. Beberapa anak memutar bola matanya malas. Sekali lagi Glenn memukul meja, “Selamat pagi, Pak.!” Seru murid-murid 7 C.
Pak Aris mengangguk dan langsung mempersilahkan murid-murid duduk.
“Perwalian kali ini ada yang mau saya bicarakan tentang karya wisata ke Yogyakarta nanti.” Murid-murid lansung tersenyum senang. “Saya akan memberitahukan kalian apa saja yang harus di bawa. Catat, ya?” Murid-murid kelas 7C tersebut langsung mengambil agenda dan pensil mereka. “Bawa pakaian bersih secukupnya. Buat 3 hari, itung ajalah. Terus, makanan ringan kalau mau. Buku bacaan boleh, ponsel juga boleh di bawa – “
Perkataan Pak Aris sedikit terpotong karena beberapa anak berbisik ria karena diperbolehkan membawa ponsel. Pak Aris kemudian melipat tangannya dan menatap murid-murid agar mereka diam sejenak, “Michael, udah ngomongnya.. Dilanjutin nanti lagi..” Beberapa murid menatap Michael yang sekarang menatap Pak Aris dengan pandangan please-deh-bukan-gue-doang-yang-ngomong. “Gak adil banget, sih,” bisik Michael pada Ica yang duduk di belakangnya. Ica hanya mengangguk.
“Oke,” ujar Pak Aris, “Sampai di mana tadi kita?” Michael berbisik pada Lius, “Di kuburan..” Lius dan Michael terkikik meledek. Pak Aris langsung menatap kedua pemuda yang jago basket itu, “Udahlah, itu nanti aja.” Kembali Pak Aris berbicara, “Ya, kalian boleh membawa ponsel. Lalu, besok pakai celana jeans panjang untuk bawahan dan atasan bebas tapi, harus tetap sopan dan rapih. Untuk yang perempuan, rambut boleh digerai (anak-anak perempuan ber-high five ria). Ya, paling itu saja yang ingin saya sampaikan. Ada pertanyaan?”
SET. Tangan Vinsen terancung ke atas, “Pak, besok boleh bawa kamera, nggak?”  Semua anak langsung menatap Vinsen dan berseru nyaring, “Vinsen, kalau disuruh ke kanan, jangan belok kiri…!!” Vinsen hanya menatap mereka diam lalu langsung bicara, “Orang gue cuman mau nanya, sih. Galak amat.” Theo langsung berseru, “Ya gak usah segitunya juga kalo nanya. Kaya orang idiot, tau gak?” “Hmm.. Hmm,” Angguk Vinsen mengerti.
“Ada lagi pertanyaan untuk 1 menit terakhir?” Tanya Pak Aris. Masing-masing menatap murid lainnya, siapa tahu ada yang masih ingin bertanya. “Gak ada? Ya, sudah. Persiapkan untuk besok, jangan ada yang lupa di bawa dan satu lagi sekolah TIDAK bertanggung jawab atas kehilangan barang. Jadi JAGA baarang dengan baik,” Ujar Pak Aris dengan menekankan kedua kata penting itu. Beberapa murid mengangguk dan kemudian merapikan barang-barang lalu berdiri di samping kanan meja mereka.
Setelah yakin semua siap untuk berdoa, Pak Aris mengangguk dan kemudian memimpin doa. Di tengah-tengah doa, terdengar bunyi bel tanda sekolah  usai. Meskipun begitu, tak ada satu anggota kelas 7C yang kehilangan iman mereka ketika berdoa karena suara bel tersebut. Dan mereka pun kembali ke rumah masing-masing. Beberapa dari mereka masih ada yang memiliki kegiatan sore seperti basket putri, voli putra, dan pembinaan fisika.
Kesha, Yolen, dan Christina segera berjalan menuju tempat ruang ganti perempuan. Di dalam, mereka bertemu dengan Viona dan Indy dari 7A, Marcha dan Mariana dari kelas 7E, Jennifer, Mareyke, dan Michelle dari kelas 7C, dan Floren dari kelas 7D. “Hai, Kes, Yol, Bon,” sapa mereka tersenyum. Mereka membalas sapaan teman-temannya dan berganti baju dengan cepat.
“Eh, Kes,” ujar Christina. Kesha menengok, “Hm?” Christina menatap Kesha dengan senyumnya yang biasa digunakan untuk melucu, “Ntar, temenin gue jajan, ya?” Kesha mengerutkan keningnya, “Ngapain? Lo kira gue babu lu apa?” “Ya, enggak.. Temenin aja.. Oke?” “Gak,” ujar Kesha sambil mendelikan matanya. “Ayo, ah..!”
Mereka bertiga keluar dari ruang ganti putrid dan duduk di hall untuk makan siang sebelum melanjutkan kegiatan sore. “Kes, temenin jajanlah,” bujuk Christina pada Kesha yang sudah mengeluarkan kotak makannya. “Sama Yolenlah dia – “
Perkataan Kesha terpotong oleh Yolen, “Ooo, ora bisa.. Gue mau ke toilet.”
“Tuh, Yolen mau ke toilet. Ayolah..” Raut mukanya dibuat menjadi sememelas mungkin. Kesha melihat Michelle dan Jennifer yang mau jajan di kantin juga dan ia dapat ide, “Tuh, ama Icel. Dia juga mau jajan,” ujar Kesha. Christina lalu mendongakkan kepalanya dan benar, Michelle juga mau jajan. “Bye, Kes,” Ia langsung meninggalkan Kesha yang sibuk dengan nasi gorengnya.
>Tomorrow morning<
“Hai, Shane,” sama Lacie dengan suara yang dilagukan seperti biasa. “Hai, Lacie,” balas Shane sambil tersenyum manis. Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh murid-murid kelas 7 SMP Santa Ursula BSD. Mengapa? Karena mereka akan pergi ke Yogyakarta untuk menghibur diri setelah ujian melelahkan lewat. Murid-murid akan menginap di hotel terbagus dan termewah di Yogyakarta, Jawa Tengah. Seperti yang sudah dikatakan wali kelas masing-masing bahwa anak perempuan boleh menggeraikan rambutnya, maka sebagian besar anak perempuan menggeraikan rambut dan poni mereka.
KRING..! Bel  masuk sekolah berbunyi. Anak-anak kelas 7C menyunggingkan senyum sumringah dimana mereka sudah tak sabar untuk pergi ke Yogyakarta. “Katanya kita nginep di Grand Royal of Yogyakarta, lho..” ujar Aldoker semangat pada Adi. “Iya, gue juga ga sabar.. Katanya mahal banget, cuy. Pantes aja kita bayar ampe 1 jutaan,” balas Adi pada Aldoker.
Adiet, sang ketua kelas, langsung berjalan maju ke depan kelas dan berseru, “Temen-temen, diem sebentar tolong..!” Tentu saja tak ada yang memperhatikan jika semua murid terlalu gembira untuk memikirkan apa yang akan mereka lakukan di sana dan lain-lain. “Temen-temen..!” Adiet berseru lebih dalam. Tetap tak ada yang memperhatikan sang ketua kelas. Adiet lalu berjalan cepat menuju Kesha dan berkata sekenanya, “Kes, itu kelas berisik. Gue mau ngomong tapi, gak ada yang dengerin. Bantuin dong?” Kesha menghela nafasnya dan tersenyum jahil, “Katanya keperayaan teman-teman, kok, bisa mereka gak ngedengerin elu?”  Adiet mendelik pada Kesha, “Ayolah, wakil..!” “Iya.. Iya..”
Mereka berdua kemudian berjalan ke depan kelas. Pertama, mereka mengamati suasana kelas yang ramai bukan main. Paling parah adalah Michael, Theo, Lius, dan Vinsen yang sedang menyanyikan lagu “Champagne Shower” dari LMFAO. Kedua, mereka melihat Wicak, George, dan Eduard yang sedang celingukan kesana kemari seperti sedang mencari sesuatu. Dan akhirnya, Adiet dan Kesha berpandangan satu sama lain dan berseru dalam, “TEMAN – TEMAN…!!!”
Agaknya, seruan dalam mereka berhasil karena sebagian besar murid langsung menatap mereka dengan tatapan terperangah. “Gak punya etika, ya, lo semua..!” Seru Kesha sambil menunjuk seisi kelas. “Masa gue ato Adiet mesti mati-idup lampu cuman buat kelas tenang?” Seisi kelas langsung menatap mereka dengan tatapan bersalah. Ada juga yang menatap mereka dengan pandangan urusan-lo-bukan-urusan-gue.
“Adiet mau ngomong,” ujar Kesha sedikit tenang lalu mulai menambahkan, “Ampe ada yang motong pembicaraan, ga punya etika lu..”
Tatapan mata langsung beralih ke Adiet yang sedari tadi hanya tenang dan melipat kedua tangannya di depan dadanya, “Oke, temen-temen. Nih, bawa semua barang-barang kalian ke Aula. Jangan ada yang dilupain dan kita akan baris ke Aula untuk briefing – ampe ada yang ngomong selama perjalanan, kasih gue komisi 10% dari uang jajan lu..” “Woooo….!!!” Seru seisi kelas tak terkecuali Kesha, Adi, dan Lacie yang merupakan pengurus kelas. “Ayo, jalan..!”
“Dikira kita domba apa? Disuruh begitu?” ujar Glenn pada Diaz. “Heh, ngomong apa tadi lo?” Tanya Adiet sambil menunjuk Glenn yang merengut. “Gak ada,” balas anak kurus itu tanpa memandang Adiet. “Ayo jalan,” Kembali Adiet berseru.
Mereka semua membawa koper kecil, tas tenteng besar yang biasa dipakai untuk pergi berenang, dan peralatan mereka masing-masing. “Jalan ke Aula, ga ada yang ngomong. Inget kata gue tadi,” ujar Adietl meyakinkan. Beberapa anak menggumam tak jelas.
Murid kelas 7Cemangka – itu nama panggilan untuk kelas 7C – berjalan malas menaiki tangga untuk ke Aula. “Diet, sumpah,” ujar Aldoker mengeluh, “Masa kita harus bawa segini berat buat ke Aula? Gimana, sih?” Adiet menatap Aldoker malas, “Ya, mana gue tau. Tanya ama gurunyalah, orang gue cuman dikasih perintah..” Eduard berbisik jahil pada Diaz, Jeanette, dan Charlene, “Ka’cung..” Keempat orang itu tertawa terbahak-bahak karena candaan murid jenius itu. Wajah Charlene mulai memerah karena tertawa terbahak-bahak. Lalu kemudian beberapa anak mulai ikut tertawa. Bukan menertawakan candaan Eduard, namun Charlene. Karena wajahnya sudah mengalahkan kepiting rebus. Jeanette sudah tak bisa berjalan lagi, Ella wajahnya sudah memerah, Fuchu sudah hampir menangis, George sudah memegangi perutnya. Semua dikarenakan oleh Charlene.
Namun mereka langsung berhenti ketika mendapat tatapan inget-perkataan-gue-tadi dari Adiet. Meskipun sudah berhenti tertawa, beberapa dari mereka yang tertawa masih saja cekikikan atau menahan tawanya dengan menggigit bibir bawah mereka seperti Ella dan Charlene. Adiet, Katrina, dan Jay hanya geleng-geleng kepala soal ini. Dan akhirnya selama 3 menit mereka berjuang untuk mengangkut dosa-dosa mereka yang terlalu banyak, mereka sampai di Aula dan menaruh dosa mereka di sana dan mereka diberkati dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin. Ok, stop it, Kezia..!
Salah..! Mereka menaruh barang bawaan mereka di atas panggung kecil yang terdapat di Aula dan langsung mengambil tempat duduk. Suasana di Aula tak jauh berbeda seperti saat di kelas. Ribut tak ada ampun. Tempat tersebut sangat penuh oleh murid yang berjalan kesana kemari, guru-guru yang membawa kertas dan pulpen, dan bahkan karyawan yang masih saja mengepel sayap Aula. Sebenarnya, ia tak dibutuhkan di saat seperti ini. Mengapa? Tempat ini penuh dengan orang yang berlalu lalang. Akan merugikan jika ia sudah mengepel, namun diinjak lagi. Dipel, diinjak lagi. Dan seperti itu hingga beratus-ratus kali. Atau bisa saja ada yang terpeleset. Yah, siapa peduli? Author saja tidak peduli apalagi yang lain? Baiklah.
Karena ruangan yang sesak penuh guru dan murid, Pak Djoko memutuskan untuk menyalakan 4 AC di ruangan tersebut. Masih dalam suasana ribut Kiiro berbisik protes pada Marci, “Kenapa gak daritadi aja, sih, dinyalain? Panas..” Marci kelihatannya setuju dengan Kiiro sehingga ia menjwab, “Iya, aku juga daritadi kepanasan.” Belum sempat Kiiro menjawab, sang kepala sekolah – Bu Eus – akan mengatakan sepatah dua patah kata sebelum mereka berangkat ke Yogyakarta.
Tatapan mata anak-anak memang terlihat meyakinkan untuk menyimak pidato Bu Eus, namun sebenarnya tidak. Banyak yang muncul di benak mereka saat itu. Seperti Seungrin yang masih memikirkan orang yang ia suka, Haemin masih sibuk dengan keantusiasannya dalam acara ke Yogyakarta ini, dan masih banyak lagi. Pemikiran masing-masing berbeda dan tentu saja tak banyak yang memerhatikan Bu Eus. Anak kelas 7C yang sudah pasti mendengarkan pidato Bu Eus adalah Jay. Ia memang tahan dalam kondisi seperti ini. Tak seperti murid lain, Jay mencintai dunia politik. Dimana ia dapat berdebat dengan baik apabila ia menggunakan ilmu politiknya di depan orang. Namun, semangatnya yang terlalu berlebihan membuat murid lain agak segan dengannya. Satu hal yang perlu diperhatikan dari Jay, ia tak pernah membuyarkan kefokusannya terhadap sesuatu apapun yang terjadi. Dan itu merupakan hal yang dibanggakan Author dari Jay.
Semua murid terbangun dari mimpi indah mereka ketika mendengar kata “Terima kasih” dari Bu Eus dan memberikan tepukan yang meriah seakan mereka mencerna isi pidatonya namun tidak. Senyum antusias sudah terlihat di wajah masing-masing murid lalu semua itu sedikit – oke – memudar drastis karena Pak Hari, guru yang mengajarkan Pendidikan Kewarganegaraan di kelas 7C, berkata bahwa mereka harus membawa kembali barang-barang yang mereka bawa ke dalam bis yang telah disiapkan. “Aaargghh…!” Gerutu semua anak marah. Darah mereka sudah mulai naik karena kejadian tak terduga ini. “Lah, kenapa harus marah? Memang Anda tidak diberitahu?” Tanya Pak Hari pada mereka. “Nggak..!!!” Seru mereka marah membalas perkataan Pak Hari. Dan emosi mereka bertambah drastis ketika Pak Hari berkata, “Ya, sudah. Saya minta maaf.  Nanti tidak ada kejadian seperti ini lagi, ayo, bawa barang-barang kalian..” Dan wajah murid-murid kelas 7 yang seharusnya dihiasi senyum tampan dan cantik mereka sekarang menjadi hilang karena datang angin badai di atas kepala mereka yang panas itu.
Mereka semua berusaha untuk membawa barang mereka kembali turun. Banyak murid yang menggerutu sepanjang perjalanan. “Aarggh..! Plin-plan banget, sih,” gumam Eduard kesal. George mendecak, “Udahlah, pasrah aja. Paling mereka juga bakal kena akibatnya.” Eduard hanya mengangguk mendengar perkataan George yang bijak. Wicak terlihat agak mendelik pada George karena biasanya ia menyarankan saran bijak. Namun, bagus untuknya karena tak ada yang melihatnya mendelik.
Sesampainya di hall banyak anak yang langsung duduk selonjoran. “Hosh.. Hosh.. Capek, sumpah. Belum apa-apa udah mandi gue,”  ujar Kenneth. Diaz mengangguk setuju. Jay, seperti biasa dengan suara wibawanya, berseru agak marah pada mereka yang duduk selonjoran, “Kiiro, Anda tak pantas duduk berselonjoran. Kamu ini perempuan. Kamu juga Marci. Aldo, Diaz, dan Kenneth sudahlah, tak usah banyak menge – “ Perkataan Jay terpotong oleh Lacie, “Jay, udahlah! Kita semua capek, nggak usah ngurusin orang lain napa?” Dahinya mengerut karena marah. Jay dengan cepat mendatangi Lacie, “Lacie, saya tidak – “ Sekali lagi perkataan Jay terpotong, “JAY..!!” Seru hampir sebagian murid 7C karena kesal. Dan anak berkacamata itu pun langsung bungkam mulut.
Secara satu per satu, murid-murid kelas 7 diabsen oleh wali kelas dan ketua kelas masing-masing. Dan ketika yakin semuanya sudah lengkap, para wali kelas segera menuntun anak didiknya ke bis yang telah disiapkan sekolah di parkiran SD. Sekali lagi banyak murid yang mengeluh karena harus membawa barang bawaan mereka yang berat. Sekolah memberikan 5 bis, sesuai 5 kelas 7. Kode yang dipakai merupakan kode dari kemauan murid-mruid itu sendiri. Kelas 7A memakai kode 7Aces, 7B memakai kode 7Benjo, 7C memakai kode 7Cemangka, 7D memakai kode 7Dreams, dan kelas 7E memakai kode 7Extraordinarie.
Murid-murid memasukkan barang bawaan mereka ke dalam bagasi bis tersebut. Beberapa ada yang masih sempat dorong-mendorong karena ingin buru-buru masuk ke dalam bis dan mendinginkan kepala yang panas. Secara tak sengaja, Vinsensius  mendorong Tara sampai jatuh. Gadis itu meringis kesakitan, sementara Vinsen sudah masuk ke dalam bis. “Tara, lu ga apa-apa?” Tanya Tania khawatir akan sahabatnya. “Auu,” ringis Tara kesakitan. “Eh, tangan lu berdarah, Ra,” ucap Victoria panik. Tara melihat lengannya yang tergores berdarah ia hanya mendelik pada lukanya. “Gue bilangin Pak Aris, ya?” Tanya Tania. “Eh, gak.. Gak usah,” Tolak Tara. “Tangan lu udah berdarah, lu mau infeksi apa?” Tanya Victoria. Tara berpikir sejenak, “Ya udah deh..”
Victoria lalu memberitahu Pak Aris tentang kecelakaan kecil tadi. Raut wajah Pak Aris yang semula agak sayu sekarang menjadi terkejut. Ia segera mendatangi Tara lalu menuntunnya naik ke dalam bis. Pak Aris segera menuntun Tara untuk duduk di kursi depan di samping Pak Aris. Wali kelas 7Cemangka itu segera meminta P3K dari supir bis lalu mengobati luka di lengan Tara dengan obat merah. Setelah lengannya diplester, Pak Aris mempersilahkan Tara kembali ke tempat duduknya bersama Victoria, Tania, Lun-ah, dan Fuchu.
“Anak-anak dimohon tenang sebentar,” ujar Pak Aris dengan mikrofon. Karena suara Pak Aris yang membesar karena mikrofon, murid-murid segera menolehkan kepalanya ke sumber suara. Pak Aris melihat ke seluruh bis sebelum ia mulai berbicara lagi, “Michael, kamu ngapain duduk di sandaran kursi? Memalukan, turun! Lius, jangan bersiul lagi. Nathasha udah selesai berbicara dengan Vani? Karena saya ingin berbicara.” Siswa dan siswi yang disebutkan oleh Pak Aris segera duduk diam dan memperhatikan wali kelas mereka.
“Nah, sebelum perjalanan dimulai, saya mau mengabsen ulang. Jadi, mohon perhatian kalian..” Nathasha lalu berbisik pada Vani, “Perasaan tadi udah di absen, deh.” Secara tak sengaja Pak Aris ternyata mendengar perkataan Nathasha, begitu juga dengan murid lainnya. Murid-murid segera memberikan tatapan diem-lu pada Nathasha. “Kan, saya hanya mengecek ulang, Tasha,” ujar Pak Aris sambil tersenyum. Nathasha hanya mengangguk,” Iya, Pak..” Murid lain merasa terganggu dengan Nathasha, “Ssshhh..!!”
Nathasha mengerutkan keningnya, “Gue salah apa, sih?” “Salah banyak..!” Seru Vinsensius dari belakang. “Vinsensius..!” Tegur teman-temannya. “Gue lagi, kan, yang salah?” ucapnya pasrah. Nathasha menjulurkan lidahnya pada Vinsensius sementara Vani menenangkannya agar tidak melunjak, “Udahlah.. Itu Pak Aris udah mau ngomong.” Nathasha hanya mengangguk.
Pak Aris mengabsen ulang semua murid-murid 7C agar tidak ada yang tertinggal. Bagus, semua murid lengkap. “Oh, dan satu lagi,” ujar Pak Aris, “Kalau ada barang yang hilang, Santa Ursula tidak bertanggung jawab, maka jaga barang dengan baik.”
“Iya, Pak..!” Seru murid-murid 7C kompak, namun malas. Dan mereka memulai perjalanan.
Dalam perjalanan menuju Yogyakarta, mereka bersenda gurau. Ada yang bermain Jujur Berani atau biasa disingkat JuBer.  ~Author say: Anggep aja ini belum dilarang~  Mereka bermain JuBer dibagi dalam beberapa kelompok karena mungkin mereka merasa lebih nyaman jika tidak bermain dengan orang yang mereka benci atau orang yang mereka suka. Michael, Lius, Vinsensius, Ica, Adiet, Trixie, Theo, Seungrin, Diaz, Ruth, Christina, Yolen, Kesha, Lacie, Jeanette, Charlene, dan Shane berada dalam satu kelompok yang anggotanya memang paling banyak. Di sisi lain, Fuchu, Lun-ah, Haemin, Tara, Victoria, dan Tania bermain JuBer juga. Aldoker, Adi, Eduard, Timoteus, Glenn, dan Kenneth bermain JuBer di siisi lain. Sementara sisa murid-murid lain  yang tidak disebutkan sudah sibuk sendiri dengan urusan masing-masing, seperti curhat, bersenda gurau, jayus, dan bahkan hanya ada yang berdiam diri untuk menikmati perjalanan.
Suasana di bis riuh rendah. Yang paling membuat berisik adalah kelompok bermain JuBer karena setiap orang yang menjawab Berani dan selesai menjalani tantangan yang diberikan oleh temannya, sering tertawa terbahak-bahak. Ica bahkan disuruh untuk mencium jendela selama 8 detik, Trixie disuruh mengatakan ‘I Love You’ pada Aldoker, Christina disuruh  untuk ‘menembak’ Vinsensius, Lius disuruh untuk membuat gombalan dengan kata ‘Basket’. Yah, memang macam-macam saja permainan anak remaja zaman sekarang.
“Tadi aku main basket. Waktu aku masukin ke ring, kok, masuknya ke hati kam, sih?” gombal Lius terpaksa karena permainan JuBer ini. Anak-anak yang bergabung dalam kelompok itu dengang semangat berteriak, “CIEEEE…!!! Buat siapa, tuh..?!” Saking berisiknya, Pak Aris sampai mendatangi kelompok tersebut. “Hey, kalian ingat tidak apa yang saya katakan sebelum berangkat tadi?” Lalu dengan cepat, suasana di bis langsung menjadi sunyi. Beberapa anak yang ikut dalam kelompok Seungrin menunduk bersalah. Dan beberapa lagi menatap Pak Aris dengan pandangan menantang meskipun wali kelas tersebut tak mengubrisnya.

~Segini dulu....
  RT @Queen_Violette buat ide -.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar