Sabtu, 31 Maret 2012

Trust and Faith (Part 3)

Part 3
No flames..!


Mereka keluar lalu celingak-celinguk ke sana kemari. “Btw, Ballroom di mana, ya?” Tanya Vinsensius. Seungrin mengangguk, “Iya, di mana, ya?”
Theo lalu menggelengkan kepalnya, “Ck..ck..ck.. Emang, ya, anak jaman sekarang, tuh, pada buta. Nggak baca apa tulisan segede gentong di atas itu?” Tania mengerutkan dahinya, “Tulisan apaan?” Theo menghela nafasnya, “Beruntung banget lu perempuan. Kalo enggak, udah gue jitak dari tadi. Itu di atas..!” Semua anak selain Theo mendongakkan kepalanya lalu secara bersamaan mereka berkata dengan santainya, “Oooohhh…..” Theo menggeram, “Uuuurgghhh…” Vinsensius langsung ambil alih. Ia berpura-pura merapikan jas Theo dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Nggak. Lu gak boleh marah-marah. Ntar nggak cakep lagi, lho. Tuh, jasnya udah nggak rapih lagi.”
Mereka semua langsung tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Vinsensius terhadap Theo. Sementara Theo hanya bergumam tak jelas.
Michael dan Cornelius langsung membuka pintu Ballroom tersebut. “Ladies first,” sengir Michael terhadap para perempuan itu. Jeanette, Kesha, Seungrin, dan Tania masuk. Cornelius lalu memandang Yolen, “Lho, Yolen kenapa nggak masuk?” Yolen langsung menjawab, “Lho, siapa? Gue? Gue, kan, laki-laki.” Vinsensius menyambar, “Ape kate lu,dah…” Ia pun langsung masuk.
Ballroom tersebut benar-benar indah dan megah. Lampu-lampu Kristal bening digantung di atas, panggung kecil di depan, dan meja-meja bundar di segala tempat. Di sisi kanan terdapat meja persegi panjang yang di atasnya terdapat berbagai macam makanan pembuka dan penutup. Mulai dari makanan barat sampai makanan nusantara pun disajikan. Murid-murid sudah masuk ke dalam Ballroom dan duduk bersama di salah satu meja.
Mereka bersembilan langsung mengambil tempat duduk di sebelah meja dimana Charlene, Shane, Trixie, Lacie, Seraphine, Ruth, Christina, Claudia, dan Tara. “Hai,” Ujar mereka bersamaan. “Hai juga,” Balas kesembilan anak itu. Mereka langsung duduk karena Ibu Astuti sudah membawa mikrofon ke panggung dan akan mulai berbicara.
“Selamat malam Bapak Ibu guru dan Siswa siswi kelas 7 SMP Santa Ursula BSD..!” Seru Ibu Astuti semangat. “Selamat malam, Bu..!” Balas murid serta guru-guru dengan semangat.
Ibu Astuti tersenyum sebentar, “Malam hari ini kita harus mengucapkan terimma kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah mengumpulkan kita semua di sini.” Dan terus berlanjut pidato dari Ibu Astuti. Namun, kali ini ada yang berbeda dari wajah para murid. Mereka tidak terlihat mengantuk atau bosan. Mereka menikmati. Mungkin karena mereka semangat akan kegiatan ini.
2 menit kurang Ibu Astuti menyampaikan secara singkat, padat, dan jelas akan kegiatan yang akan dilakukan di Yogyakarta. Permasalahannya, penyakit lama kelas 7C mulai kambuh kembali. Mereka sibuk berbicara satu sama lain. Kemungkinan besar membicarakan tentang ‘liburan’ mereka di Yogya ini.
Ibu Astuti sudah menegur mereka 3 kali dan para murid kelas 7C sama sekali tidak mengubrisnya. Mereka diam sejenak lalu mulai berbicara satu sama lain lagi. “Kelas 7C ini sudah ke empat kalinya saya peringatkan kalian, bukan? Karena itu kalian dikurung di Ballroom sampai jam 3 pagi..!” Kesabaran Ibu Astuti sudah mulai habis. Katrina melirik Pak Aris yang sekarang wajahnya sudah tertekuk oleh hukuman Ibu Astuti pada murid-murid asuhannya.
Selesai sudah sambutan dari Ibu Astuti dan sekarang waktunya makan malam.! Semua murid langsung berbaris tak sabar di meja yang sudah disediakan berbagai macam makanan pembuka dan penutup. Para guru kadang hanya menggelengkan kepala melihat tingkah murid didik mereka yang rakus ini. Dan ketika para guru yang mau mengambil makanan itu, hanya terdapat sisa-sisa sedikit untuk dimakan. Sabar, ya, Pak.. Sabar, ya, Bu.. Tabah, tabah…
“Waaa…. Kambing lapar…!” Seru Lius ketika melihat makanan yang bertumpuk di depannya sudah habis. “Kambing!” pekik Jeanette. Lius menatap Jeanette penuh tanya, “Hah?” Gadis itu menepuk dahinya pasrah. Ica, yang duduk d sebelah Jeanette, langsung menepuk-nepuk bahu Jeanette sambil berkata, “Sabar, ya? Sabar…” Jeanette hanya mengangguk pasrah.
Lius menautkan kedua alisnya. Ia bertambah bingung, “Apa, sih?” Ica berseru, “Woy..! Lu udah makan banyak masa gak puas-puas?!” Terdapat keheningan sejenak, “Itu doang?” “Kambiiiinnggg…!!” Seru teman-temannya yang berada satu meja dengannya. Lius menyengir tanpa rasa bersalah.
Setelah makan, mereka kembali ke ruangan masing-masing. Namun, tidak dengan kelas 7C, mereka menetap di Ballroom. Sebelum mereka dikurung dan dibebaskan untuk memakai peralatan apapun di ruangan itu Pak Aris berkata, “Jangan macam-macam, ya? Saya sangat kecewa.”
Dan Pak Aris keluar lalu mengunci ruangan itu. Setelah yakin tak ada yang mendengarkan murid-murid berseru senang, “YEAH…!!!” Dan mereka tertawa bahagia. “Kita bebas..!! We’re Free…!!” Seru Michael sambil berlarian ke sana kemari. “Gue bangga jadi 7Cemangka..!” Seru Ica senang. Sementara yang lain sudah menggila, Katrina, George, Timothy, Marci, Kiiro, dan Eduard duduk termangu meratapi nasib mereka terkurung.
“Lagian mereka ribut..!” Seru Katrina. Marci mengangguk, “Iya, aku juga udah ngantuk soalnya.” “Udahlah, mereka cuman terlalu semangat, kok,” ucap Kiiro menenangkan. Eduard mengangguk, “Ya udah. Mau buat apa lagi?” Mereka berempat hanya mengangkat bahu tak peduli.
Michael lalu berjalan menuju piano elektronik yang terletak di sisi kanan panggung. Icaa yang melihat itu langsung berteriak nyaring, “Mainin pianonya, Mike!” Michael menatap teman-temannya sebentar, “Serius?” Beberapa temannya langsung menyahut, “Iya! Ayo, Mike..!” Pemuda itu mengangkat bahunya lalu mulai memainkan lagu “My Heart Will Go On” dari Celline Dion.
Sontak, semua murid langsung terhanyut dalam permainan indah Michael CFT. Alunan music yang indah, lembut. Legato. Begitulah para pianis menyebutnya. “My  heart will go on and on,” Terdengar lirik terakhir yang dinyanyikan murid-murid 7C dengan merdu.
Hening sejenak setelah lagu dinyanyikan. Dan tiba-tiba, “Woooohh….!!!” Murid-murid bersorak-sorai gembira. Berloncatan ke sana kemari, berputar-putar, dan berteriak-teriak.
Lalu semua aktifitas tersebut terhentikan oleh permainan piano Michael yang sedikit.. mencengkam. Seisi ruangan diam, tak ada yang berbiacara. Semua mata tertuju pada Michael yang kepalanya tertunduk pada piano yang sedang dimainkannya. Semua murid tau lagu ini. “Michael ngapain main Gloomy Sunday?” Tanya Ica tiba-tiba.
Beberapa murid berpandangan satu sama lain. “Kayaknya ada yang nggak beres, deh…” Ucap Kesha sambil mendekati Michael. “Kes, jangan!” Sergah Charlene. Namun Kesha tetap mengikuti naluri dan menghiraukan bantahan Charlene. Ica dan Jeanette mengikuti Kesha dari belakang. “Gila, permainannya… Ngeri gue,” ucap Vinsensius tiba-tiba. Bahkan, Timoteus dan teman-temannya pun ingin menyaksikan apa yang terjadi.
Tep.. Tep.. Hanya terdengar langkah kaki Kesha, Ica, dan Jeanette. “Mike?” Panggil Ica. “Mike?” Sekali lagi Ica memanggil sahabatnya itu, “Michael?” Kesha menyuruh Ica untuk diam sebentar. Ia mengerutkan keningnya, heran dan takut. Perlahan, ia menaruh tangan kanannya di pundak Michael, “Mike?”
Sekitar sedetik, tak ada yang terjadi. Namun setelah itu, Michael menatap Kesha mengerikan. Tak ada bola mata. Hilang. “Kyaaaaa…..!!!!!!” Seru Kesha, Jeanette, dan Ica secara bersamaan. Mereka bertiga turun dari panggung itu dengan segera. “Michael! Elu mau ngebunuh kita apa?!” Protes Jeanette tak terima. Pemuda itu tak menjawab. Ia hanya tersenyum mengerikan.
“Mike! Elu kenapa, sih?!” Tanya Lius sedikit panik. Alih-alih Michael menjawab, Natasha mengambil alih, “Paling dia cuma main-main.” Yolen mendorong Natasha, “Cuma lu bilang?! Enam tahun gue satu sekolah ama dia, enam tahun juga gue nggak pernah ngeliat dia kayak gini..!” Charlene langsung menarik lengan Yolen, “Udah… Jangan emosi dulu.”
“Michael, lu sebenernya kenapa sih?!” Seru Lacie. Michael menatap Lacie marah. Tak ada jawaban, tetap hening. “Gue tau dari awal emang nggak ada yang bener dari hotel ini,” ucap Tara takut. “Kenapa harus hotel ini bener-bener untuk kita gitu, lho? Nggak masuk akal..!” Seru Tania. Beberapa anak mengangguk setuju. “Stop, stop. Kita udah di sini dan permasalahan ini nggak bisa kita selesain dengan emosi. Tahan dulu,” ucap Vani. Gadis berambut hitam kecokelatan itu lalu menatap Wicak, “Menurut lu ini kenapa?” Wicak menatap Vani dalam, “Kerasukan.”
Beberapa murid menahan nafas mereka, kaget. “Dari mana lu bisa ngambil kesimpulan itu?” Tanya Shane sedikit sewot. Dengan cepat Wicak menjawab, “Perhatiin matanya, cara dia ngeliat elu. Kerasukan.” George menatap Wicak, “Lu bisa ngeluarin?” Wicak terlihat seperti berpikir sebentar, “Oh..! Gue bawa Rosario.” Natasha dan Jeanette terlihat memucat. Ica yang melihat hal itu segera bertanya, “Napa lu, Jean?” Jeanette menatap Ica, “E-eh? Nggak.. Nggak apa-apa..”
“Ruth, bisa bantuin gue nggak?” Tanya Wicak. Ruth terlihat sedikit terkejut, “E-eh? Tapi, gue nggak bawa Rosario.” Wicak mengangkat kedua bahunya, “Bantuin doain Rosario, gue bakal ngusir iblis itu.” Ruth mengangguk dan mengambil Rosario kepunyaan Wicak.

~RT @Queen_Violette
~Next part... Coming soon

1 komentar:

  1. anjir serem coy ;P... cepet dong lanjutin lagi XD.. tapi gue kemana ya-_-? ehehe

    BalasHapus