No flames..!
Mereka
keluar lalu celingak-celinguk ke sana kemari. “Btw, Ballroom di mana,
ya?” Tanya Vinsensius. Seungrin mengangguk, “Iya, di mana, ya?”
Theo lalu menggelengkan kepalnya, “Ck..ck..ck.. Emang, ya, anak jaman sekarang, tuh, pada buta. Nggak baca apa tulisan segede gentong di atas itu?” Tania mengerutkan dahinya, “Tulisan apaan?” Theo menghela nafasnya, “Beruntung banget lu perempuan. Kalo enggak, udah gue jitak dari tadi. Itu di atas..!” Semua anak selain Theo mendongakkan kepalanya lalu secara bersamaan mereka berkata dengan santainya, “Oooohhh…..” Theo menggeram, “Uuuurgghhh…” Vinsensius langsung ambil alih. Ia berpura-pura merapikan jas Theo dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Nggak. Lu gak boleh marah-marah. Ntar nggak cakep lagi, lho. Tuh, jasnya udah nggak rapih lagi.”
Mereka semua langsung tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Vinsensius terhadap Theo. Sementara Theo hanya bergumam tak jelas.
Theo lalu menggelengkan kepalnya, “Ck..ck..ck.. Emang, ya, anak jaman sekarang, tuh, pada buta. Nggak baca apa tulisan segede gentong di atas itu?” Tania mengerutkan dahinya, “Tulisan apaan?” Theo menghela nafasnya, “Beruntung banget lu perempuan. Kalo enggak, udah gue jitak dari tadi. Itu di atas..!” Semua anak selain Theo mendongakkan kepalanya lalu secara bersamaan mereka berkata dengan santainya, “Oooohhh…..” Theo menggeram, “Uuuurgghhh…” Vinsensius langsung ambil alih. Ia berpura-pura merapikan jas Theo dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Nggak. Lu gak boleh marah-marah. Ntar nggak cakep lagi, lho. Tuh, jasnya udah nggak rapih lagi.”
Mereka semua langsung tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Vinsensius terhadap Theo. Sementara Theo hanya bergumam tak jelas.
Michael
dan Cornelius langsung membuka pintu Ballroom
tersebut. “Ladies first,” sengir Michael
terhadap para perempuan itu. Jeanette, Kesha, Seungrin, dan Tania masuk.
Cornelius lalu memandang Yolen, “Lho, Yolen kenapa nggak masuk?” Yolen langsung
menjawab, “Lho, siapa? Gue? Gue, kan, laki-laki.” Vinsensius menyambar, “Ape kate lu,dah…” Ia pun langsung masuk.
Ballroom
tersebut benar-benar indah dan megah. Lampu-lampu Kristal bening digantung di
atas, panggung kecil di depan, dan meja-meja bundar di segala tempat. Di sisi
kanan terdapat meja persegi panjang yang di atasnya terdapat berbagai macam
makanan pembuka dan penutup. Mulai dari makanan barat sampai makanan nusantara
pun disajikan. Murid-murid sudah masuk ke dalam Ballroom dan duduk bersama di salah satu meja.
Mereka
bersembilan langsung mengambil tempat duduk di sebelah meja dimana Charlene,
Shane, Trixie, Lacie, Seraphine, Ruth, Christina, Claudia, dan Tara. “Hai,”
Ujar mereka bersamaan. “Hai juga,” Balas kesembilan anak itu. Mereka langsung
duduk karena Ibu Astuti sudah membawa mikrofon ke panggung dan akan mulai
berbicara.
“Selamat
malam Bapak Ibu guru dan Siswa siswi kelas 7 SMP Santa Ursula BSD..!” Seru Ibu
Astuti semangat. “Selamat malam, Bu..!” Balas murid serta guru-guru dengan
semangat.
Ibu
Astuti tersenyum sebentar, “Malam hari ini kita harus mengucapkan terimma kasih
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah mengumpulkan kita semua di sini.” Dan
terus berlanjut pidato dari Ibu Astuti. Namun, kali ini ada yang berbeda dari
wajah para murid. Mereka tidak terlihat mengantuk atau bosan. Mereka menikmati.
Mungkin karena mereka semangat akan kegiatan ini.
2
menit kurang Ibu Astuti menyampaikan secara singkat, padat, dan jelas akan kegiatan
yang akan dilakukan di Yogyakarta. Permasalahannya, penyakit lama kelas 7C
mulai kambuh kembali. Mereka sibuk berbicara satu sama lain. Kemungkinan besar
membicarakan tentang ‘liburan’ mereka di Yogya ini.
Ibu
Astuti sudah menegur mereka 3 kali dan para murid kelas 7C sama sekali tidak
mengubrisnya. Mereka diam sejenak lalu mulai berbicara satu sama lain lagi.
“Kelas 7C ini sudah ke empat kalinya saya peringatkan kalian, bukan? Karena itu
kalian dikurung di Ballroom sampai
jam 3 pagi..!” Kesabaran Ibu Astuti sudah mulai habis. Katrina melirik Pak Aris
yang sekarang wajahnya sudah tertekuk oleh hukuman Ibu Astuti pada murid-murid
asuhannya.
Selesai
sudah sambutan dari Ibu Astuti dan sekarang waktunya makan malam.! Semua murid
langsung berbaris tak sabar di meja yang sudah disediakan berbagai macam
makanan pembuka dan penutup. Para guru kadang hanya menggelengkan kepala
melihat tingkah murid didik mereka yang rakus ini. Dan ketika para guru yang
mau mengambil makanan itu, hanya terdapat sisa-sisa sedikit untuk dimakan.
Sabar, ya, Pak.. Sabar, ya, Bu.. Tabah, tabah…
“Waaa….
Kambing lapar…!” Seru Lius ketika melihat makanan yang bertumpuk di depannya
sudah habis. “Kambing!” pekik Jeanette. Lius menatap Jeanette penuh tanya,
“Hah?” Gadis itu menepuk dahinya pasrah. Ica, yang duduk d sebelah Jeanette,
langsung menepuk-nepuk bahu Jeanette sambil berkata, “Sabar, ya? Sabar…”
Jeanette hanya mengangguk pasrah.
Lius
menautkan kedua alisnya. Ia bertambah bingung, “Apa, sih?” Ica berseru, “Woy..!
Lu udah makan banyak masa gak puas-puas?!” Terdapat keheningan sejenak, “Itu
doang?” “Kambiiiinnggg…!!” Seru teman-temannya yang berada satu meja dengannya.
Lius menyengir tanpa rasa bersalah.
Setelah
makan, mereka kembali ke ruangan masing-masing. Namun, tidak dengan kelas 7C,
mereka menetap di Ballroom. Sebelum
mereka dikurung dan dibebaskan untuk memakai peralatan apapun di ruangan itu
Pak Aris berkata, “Jangan macam-macam, ya? Saya sangat kecewa.”
Dan
Pak Aris keluar lalu mengunci ruangan itu. Setelah yakin tak ada yang
mendengarkan murid-murid berseru senang, “YEAH…!!!” Dan mereka tertawa bahagia.
“Kita bebas..!! We’re Free…!!” Seru Michael sambil berlarian ke sana kemari. “Gue
bangga jadi 7Cemangka..!” Seru Ica senang. Sementara yang lain sudah menggila,
Katrina, George, Timothy, Marci, Kiiro, dan Eduard duduk termangu meratapi
nasib mereka terkurung.
“Lagian
mereka ribut..!” Seru Katrina. Marci mengangguk, “Iya, aku juga udah ngantuk
soalnya.” “Udahlah, mereka cuman terlalu semangat, kok,” ucap Kiiro
menenangkan. Eduard mengangguk, “Ya udah. Mau buat apa lagi?” Mereka berempat
hanya mengangkat bahu tak peduli.
Michael
lalu berjalan menuju piano elektronik yang terletak di sisi kanan panggung.
Icaa yang melihat itu langsung berteriak nyaring, “Mainin pianonya, Mike!”
Michael menatap teman-temannya sebentar, “Serius?” Beberapa temannya langsung
menyahut, “Iya! Ayo, Mike..!” Pemuda itu mengangkat bahunya lalu mulai
memainkan lagu “My Heart Will Go On” dari Celline Dion.
Sontak,
semua murid langsung terhanyut dalam permainan indah Michael CFT. Alunan music yang
indah, lembut. Legato. Begitulah para
pianis menyebutnya. “My heart will go on
and on,” Terdengar lirik terakhir yang dinyanyikan murid-murid 7C dengan merdu.
Hening sejenak setelah lagu dinyanyikan. Dan tiba-tiba, “Woooohh….!!!” Murid-murid bersorak-sorai gembira. Berloncatan ke sana kemari, berputar-putar, dan berteriak-teriak.
Hening sejenak setelah lagu dinyanyikan. Dan tiba-tiba, “Woooohh….!!!” Murid-murid bersorak-sorai gembira. Berloncatan ke sana kemari, berputar-putar, dan berteriak-teriak.
Lalu
semua aktifitas tersebut terhentikan oleh permainan piano Michael yang
sedikit.. mencengkam. Seisi ruangan diam, tak ada yang berbiacara. Semua mata
tertuju pada Michael yang kepalanya tertunduk pada piano yang sedang
dimainkannya. Semua murid tau lagu ini. “Michael ngapain main Gloomy Sunday?”
Tanya Ica tiba-tiba.
Beberapa
murid berpandangan satu sama lain. “Kayaknya ada yang nggak beres, deh…” Ucap
Kesha sambil mendekati Michael. “Kes, jangan!” Sergah Charlene. Namun Kesha
tetap mengikuti naluri dan menghiraukan bantahan Charlene. Ica dan Jeanette
mengikuti Kesha dari belakang. “Gila, permainannya… Ngeri gue,” ucap Vinsensius
tiba-tiba. Bahkan, Timoteus dan teman-temannya pun ingin menyaksikan apa yang
terjadi.
Tep..
Tep.. Hanya terdengar langkah kaki Kesha, Ica, dan Jeanette. “Mike?” Panggil
Ica. “Mike?” Sekali lagi Ica memanggil sahabatnya itu, “Michael?” Kesha
menyuruh Ica untuk diam sebentar. Ia mengerutkan keningnya, heran dan takut. Perlahan,
ia menaruh tangan kanannya di pundak Michael, “Mike?”
Sekitar
sedetik, tak ada yang terjadi. Namun setelah itu, Michael menatap Kesha
mengerikan. Tak ada bola mata. Hilang. “Kyaaaaa…..!!!!!!” Seru Kesha, Jeanette,
dan Ica secara bersamaan. Mereka bertiga turun dari panggung itu dengan segera.
“Michael! Elu mau ngebunuh kita apa?!” Protes Jeanette tak terima. Pemuda itu
tak menjawab. Ia hanya tersenyum mengerikan.
“Mike!
Elu kenapa, sih?!” Tanya Lius sedikit panik. Alih-alih Michael menjawab,
Natasha mengambil alih, “Paling dia cuma main-main.” Yolen mendorong Natasha, “Cuma
lu bilang?! Enam tahun gue satu sekolah ama dia, enam tahun juga gue nggak
pernah ngeliat dia kayak gini..!” Charlene langsung menarik lengan Yolen, “Udah…
Jangan emosi dulu.”
“Michael,
lu sebenernya kenapa sih?!” Seru Lacie. Michael menatap Lacie marah. Tak ada
jawaban, tetap hening. “Gue tau dari awal emang nggak ada yang bener dari hotel
ini,” ucap Tara takut. “Kenapa harus hotel ini bener-bener untuk kita gitu,
lho? Nggak masuk akal..!” Seru Tania. Beberapa anak mengangguk setuju. “Stop,
stop. Kita udah di sini dan permasalahan ini nggak bisa kita selesain dengan
emosi. Tahan dulu,” ucap Vani. Gadis berambut hitam kecokelatan itu lalu
menatap Wicak, “Menurut lu ini kenapa?” Wicak menatap Vani dalam, “Kerasukan.”
Beberapa
murid menahan nafas mereka, kaget. “Dari mana lu bisa ngambil kesimpulan itu?”
Tanya Shane sedikit sewot. Dengan cepat Wicak menjawab, “Perhatiin matanya,
cara dia ngeliat elu. Kerasukan.” George menatap Wicak, “Lu bisa ngeluarin?”
Wicak terlihat seperti berpikir sebentar, “Oh..! Gue bawa Rosario.” Natasha dan
Jeanette terlihat memucat. Ica yang melihat hal itu segera bertanya, “Napa lu,
Jean?” Jeanette menatap Ica, “E-eh? Nggak.. Nggak apa-apa..”
“Ruth,
bisa bantuin gue nggak?” Tanya Wicak. Ruth terlihat sedikit terkejut, “E-eh?
Tapi, gue nggak bawa Rosario.” Wicak mengangkat kedua bahunya, “Bantuin doain
Rosario, gue bakal ngusir iblis itu.” Ruth mengangguk dan mengambil Rosario
kepunyaan Wicak.
~RT @Queen_Violette
~Next part... Coming soon
anjir serem coy ;P... cepet dong lanjutin lagi XD.. tapi gue kemana ya-_-? ehehe
BalasHapus